Sabtu, 04 Desember 2010

Filsafat Feminisme



Desember 4, 2010 by junaidi unismuh 



Filsafat Feminisme dalam tinjauan para Pilosof
  1. Pengantar
Filsafat feminisme dapat dikatakan sebagai suatu cara berpikir yang menekankan pengalaman, identitas, serta cara berada dan berpikir perempuan dilihat sama seperti kaum pria. Singkatnya, bagaimana berfilsafat dari sudut pandang perempuan. Menurut para filsuf feminis, gagasan mendasar mengenai Allah, dunia dan manusia dibangun atas dasar konsep patriarkal (dari bahasa Latin, pater: bapa). Akibatnya, peranan perempuan kurang diperlihatkan bahkan tidak jarang dirugikan. Peranan dan perjuangan perempuan justru dikuasai dan diukur dari konsep patriarkal. Karena itulah, para filsuf feminis bermaksud merombak kembali gagasan-gagasan mendasar yang menjadikan perempuan berkedudukan seperti itu.
Kemunculan filsafat feminisme memang kerap dikaitkan dengan terbitnya buku Simone de Beauvoir berjudul The Second Sex (terbit tahun 1949). Jauh sebelum karya ini terbit, pembedaan peran pria dan wanita itu sendiri sudah tampak pada pemikiran Plato dan Phytagoras. Tapi, pemikiran para filsuf Yunani tersebut tidak seradikal Simone de Beauvoir. Plato, misalnya, hanya menggagas perbedaan fisik antara pria dan wanita. Terlepas dari itu, Plato mengatakan baik pria dan wanita dapat dan mampu melaksanakan fungsi yang sama sebagai manusia seutuhnya dalam suatu masyarakat. Sementara Simone de Beauvoir mengangkat perbedaan fisik ini ke tataran ontologis dengan mengatakan “One is not born, but rather becomes a woman. No biological, psychological, or economic fate determines the figure that the human female presents in society; it is civilisation as a whole that produces this creature, intermediate between male and eunuch, which is described as feminine[1]. Pendekatan inilah yang barangkali memicu kelahiran gerakan feminisme untuk menafsirkan kembali peran dan fungsi perempuan dalam bidang ekonomi, sosial, politik sampai pada bidang agama.
Makalah ini sendiri tidak akan membahas seluruh sepak terjang para filsuf feminis, melainkan hanya mengambil 3 tokoh saja yang kiranya mewakili apa yang menjadi pergulatan pemikiran mereka dalam bidang agama. Pembahasan pemikiran mereka tersebut akan disajikan di bawah ini.
  1. Pembahasan beberapa tokoh
  2. Mary Daly (1928- )
Pemikiran feminisme dalam bidang agama dapat dilihat dari beberapa karyanya antara lain, The Church and The Second Sex (1968),  Beyond God The Father: Toward a Philosophy of Women’s Liberation (1973), danGyn/Ecology, The Metaethics of Radical Feminisme (1977). Dalam dua karyanya yang pertama, Daly masih menggeluti persoalan mengenai Allah dan Kristianitas. Sementara pada karya ketiga, gagasan-gagasan tersebut ditinggalkannya lantaran gagasan tersebut sudah terikat dalam tradisi patriarkal sehingga akomodasi peran wanita di dalamnya hanya berakibat kekerasan pada wanita. Mengapa berubah? Jawaban atas pertanyaan ini akan bisa dijawab dengan melihat kembali pada pemikirannya di dua karyanya yang pertama.
Pusat pemikiran Daly terletak pada usaha reinterpretasi feminis atas konsep sentral teologi termasuk tentang eksistensi manusia dan Allah. Fokus perhatian Daly pada gagasan mengenai Allah hendak mengatakan kaitan erat antara pondasi struktur sosial dan legitimasi patriarkal yang berdasar pada ciri maskulin Allah. Poin inilah yang hendak dibongkar oleh Daly. Dengan kata lain, ia hendak membebaskan teologi dari fungsi legitimasi patriarkis dan menampilkan proses menjadi manusia dalam arti sepenuhnya. Pembebasan lantas menjadi kata kunci bagi pemikiran Daly. Baginya, untuk menjadi manusia seutuhnya, kemampuan untuk menamai diri sendiri, dunia dan Allah haruslah ada dalam diri manusia. Tapi, kemampuan atau kekuatan untuk menamai inilah yang hilang atau dicabut secara paksa dari diri perempuan. Karena itu, pembebasan bahasa dan konsep dari kontrol patriarkis pada saat yang sama merupakan pembebasan wanita. Untuk tujuan tersebut, usaha pembebasan pertama ditujukan pada gagasan Allah sebagai Bapa.
Gagasan Allah sebagai Bapa merupakan gagasan maskulin yang tidak mengikutsertakan pengalaman wanita di dalamnya. Jika Allah sebagai laki-laki di surga mengatur umatNya, maka itu sesuai dengan rencana ilahi bahwa masyarakat diatur atau dipimpin oleh kaum pria. Atau sebagaimana yang diungkapkan Daly, “Jika Allah itu pria, maka pria itu Allah”. Konsep seperti ini jelas menindas wanita. Karena alasan inilah, Daly mengungkapkan cara yang ia sebut perubahan imajinasi kolektif yang dikaitkannya dalam bidang bahasa untuk mengubah gambaran Allah seperti itu. Allah sebagai Bapa pada dasarnya hanya merupakan penamaan. Tapi, penamaan demikian justru berakibat pada penentuan kualitas manusia secara artificial khususnya kepada perempuan dalam hidup bermasyarakat. Batasan-batasan epistemologis, ekonomis, politis, sosial dan lain-lain lantas dibangun di antara pria dan wanita. Batasan demikian menjadikan perempuan mendapat stereotipe yang pasif, tidak melawan, emosi, dan sebagainya. Untuk membongkar gagasan Allah seperti itu, Daly mengambil alih pendekatan eksistensialisme. Dengan paham ini, ia memaksudkan keberanian untuk menghadapi pengalaman apa pun juga termasuk pengalaman akan ketiadaan. Pengalaman-pengalaman manusiawi inilah yang menurut Daly dapat menghantar pada pengakuan dimensi ontologis tiap pribadi dan sekaligus pula dimensi sosialnya. Pengakuan dimensi sosial dimaksudkan untuk membongkar tatanan patriarkal tersebut. Namun, pertanyaan yang muncul kemudian adalah pendekatan eksistensial ini apakah memberikan tempat bagi Allah padahal gagasan mengenai Allah sebagai Bapa ini yang menjadi tujuan utama Daly?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, Daly meninggalkan sebagian besar tradisi Kristiani dan menggantikan pembicaraan mengenai Allah dengan pembicaraan mengenai perempuan itu sendiri. Pergantian ini tidak berarti penyingkiran total atas Allah. Eksistensi mendasar manusia tetap membutuhkan transendensi terakhir, yakni Allah. Hanya Allah yang dipahami oleh Daly adalah Allah sebagai kata kerja, bukan sebagai ‘Allah yang duduk dan menghakimi’. Konsep Allah sebagai demikian jelas dapat memberi suatu kekuatan bagi manusia, khususnya bagi perempuan, untuk berproses menjadi manusia seutuhnya. Kata lainnya, proses menjadi manusia yang utuh berarti berpartisipasi dalam dinamika kekuatan adanya Allah.
Upaya Daly untuk membebaskan perempuan dalam agama Kristiani rupanya menemui halangan. Ia menyadari bahwa Kristianitas itu sendiri sudah terikat oleh tradisi patriarkal sehingga akomodasi perempuan di dalamnya justru mengakibatkan kekerasan terhadap perempuan itu sendiri. Struktur patriarkal dianggap sebagai pondasi semua agama besar di dunia. Itulah mengapa dalam karyanya yang ketiga, ia meninggalkan Kristianitas dan gagasan mengenai Allah sebagaimana dijelaskannya dalam karya-karya sebelumnya. Gagasan Allah digantinya dengan konsep ke-allah-an. Dengan kata lain, Daly menjadikan gagasan ini lebih abstrak untuk memberi ruang bagi penegasan adanya wanita. Tapi, upaya ini justru menghilangkan perbedaan antara pria dan wanita. Allah, dengan kata lain, merupakan inkarnasi wanita itu sendiri
  1. Sally McFague
Pendekatan filsafat feminis Sally McFague dalam bidang agama dapat ditemukan dalam karyanya yang berjudul Metaphorical Theology: Models of God in Religius Language (1982). Dari judul buku ini setidaknya dapat diketahui arah pembicaraan Sally mengenai Allah. Ia berupaya menguraikan apa yang sesungguhnya disebut sebagai bahasa religius dalam hubungannya dengan pengalaman menjadi wanita. Karena itu, Sally pertama-tama hendak menerapkan pandangan feminis pada tradisi. Tradisi apa? Tradisi Kristiani yang sudah dibalut oleh bentuk patriarkal. Menurutnya, ungkapan dasar agama Kristiani adalah pembebasan, bukan patriarkal.
Dewasa ini apa yang disebutnya bahasa religius sudah kehilangan makna dan relevansi. Bahasa yang seharusnya dipakai dalam konteks ibadah justru melupakan jarak antara dunia ini dan realitas ilahi. Konsekuensi ini mengalir pada apa yang disebut dengan konteks interpretatif. Konteks itu mau mengatakan bahwa seseorang yang berbicara mengenai Allah adalah ada yang bersifat sosial, historis dan kultural. Ini berarti bahwa pluralitas konteks interpretatif tidak dihargai lantaran bahasa demikian menyingkirkan manusia berdasar pada kelas, ras atau seks. Menurut Sally, para femimis pada umumnya sepakat bahwa manusia dilahirkan ke dalam dunia yang telah bersifat linguistik ini dan mereka yang menamai dunia inilah yang mengendalikannya. Persoalan yang dihadapi para feminis bukan hanya bahwa Allah itu bersifat maskulin tapi bahwa bentuk-bentuk patriarkal menjadi layar atau latar belakang di mana semua relasi antara diri dan Allah, diri dan orang lain dapat dilihat. Bagaimana ini dapat terjadi?
Sally melihat bahwa persoalan ini merupakan akibat dari pemahaman Gereja di abad pertengahan yang mengemukakan analogi ada. Namun, setelah reformasi Protestan relasi antara simbol dan referensinya (analogi ada, red) menjadi lenyap. Relasi ini digantikan oleh bahasa metaforis yang dilihat Sally terdapat dalam tradisi Protestan namun memiliki akar dalam tradisi Katolik. Menurutnya, metafora inilah yang bisa digunakan untuk berbiara mengenai relasi Allah dan manusia dalam konteks dewasa ini. Mengapa metafora? Karena metafora menemukan kemiripan dalam ketidakmiripan. Metafora itu menggoncang, membawa perbedaan dan meruntuhkan kebiasaan. Tapi, metafora dalam dirinya sendiri tidak mencukupi. Bagi Sally, harus ada distingsi antara bahasa religius metaforis dan konseptual. Distingsi ini diperlukan supaya menghindari pemberhalaan terhadap bahasa religius metaforis tersebut. Hal ini misalnya dapat dilihat dari gambaran Allah sebagai Bapa. Ungkapan (metafora) ini menyingkirkan cara berpikir dan berbicara yang lain. Karena itulah bahasa religius metaforis perlu ditransisi ke bahasa konseptual supaya pengalaman perempuan dapat diikutsertakan dalam relasi Allah dan manusia. Poin inilah yang disebut Sally sebagai ungkapan dasar Kristianitas yang membebaskan.
Pembebasan ini bukan semata pembebasan dari kekuasaan laki-laki melainkan juga pembebasan dari batasan kebiasaan (tradisi) serta harapan bagaimana seharusnya dunia ini berhubungan dengan Allah. Pembebasan ini tercapai melalui cara berada yang baru dalam hubungannya dengan yang ilahi dan yang dicirikan oleh cinta tanpa syarat. Penekanan Sally di sini terletak pada relasi Allah dengan manusia bukan usaha menggambarkan Allah. Tiap pengalaman manusia akan yang ilahi pada dasarnya mau mengatakan relasi yang membebaskan. Manusia memang membutuhkan bahasa metaforis dan menurut Sally Allah sebagai Sahabat pantas menjadi ungkapan yang sangat penting dan bermakna. Gambaran ini mengungkapkan maturitas dan mutualitas serta sekaligus mengungkapkan juga relasi di antara manusia baik usia, seks, warna, agama dan menerima perbedaan baik sebagai individual, bangsa dan kebudayaan. Dengan kata lain, ungkapan Allah sebagai Sahabat ini memiliki tendensi imanental yang kuat yang di dalamnya kita tidak lagi berada di bawahNya melainkan berada dalam Allah.
  1. Luce Irigaray (1930 –  )
Tokoh ini adalah seorang Perancis yang beraliran post-strukturalis. Pemikirannya lebih tertuju kepada kritik subjek rasional. Menurutnya, konsep subjek manusia sejak Plato sampai Freud selalu berkaitan dengan konsep maskulin yang membangun dan menginterpretasikan dunia ini. Karena itu, kaum perempuan kerap digambarkan sebagai warga kelas dua di bawah kaum pria. Namun, maksud Luce Irigaray bukanlah menyamakan diri dengan pria dalam kekuatannya dengan mengabaikan perbedaan yang ada. Justru ia hendak berkata bahwa kaum maskulin tidak lagi dapat membatasi segala hal dan menetapkan segala nilai. Tekanan pada perbedaan menuntun Luce berbeda dari para pemikir feminis lainnya yang menekankan kesamaan politis dan hak-hak wanita. Bagi Luce, menuntut kesamaan sebagai wanita sesungguhnya merupakan suatu ungkapan yang keliru atas persoalan yang sebenarnya. Mengapa? Karena hal tersebut mengandaikan terminologi perbandingan, yakni kesamaan terhadap pria, gaji, kedudukan publik, dan sebagainya. Yang lebih parah lagi, tuntutan kesamaan justru mengartikulasikan keinginan akan kekuasaan. Inilah yang hendak dihindari oleh Luce Irigaray.
Wanita harus memiliki logikanya sendiri. Artinya, ketika logika berkaitan dengan kebenaran, maka perbedaan dalam kesatuan, identitas diri, dan temporalitas haruslah diperlihatkan. Logika demikian mengungkapkan esensi dan keseluruhan yang menjadikan wanita mampu berada. Adanya wanita lantas berarti berada dalam apa yang disebut Irigaray sebagai ‘wanita ilahi’. Subjektivitas manusia membutuhkan keilahian agar menjadi bebas, otonomi dan berdaulat. Tapi, tradisi religiusitas barat tidak memiliki keilahian yang mengakui perbedaan seksual ini. Itulah mengapa menurut Irigaray tujuan wanita hanya berasal dari luar, yakni dari laki-laki yang merupakan cermin Allah. Dengan kata lain, seluruh tujuan wanita pada dasarnya adalah menjadi pria (berproses seperti adanya pria).
Tidak berada bersama Allah merupakan suatu kehilangan bagi wanita itu sendiri, bagi komunitas serta barangkali juga bagi Allah. Wanita harus menggugat diskursus mengenai Allah sebagaimana mereka menggugat diskursus mengenai subjek manusia. Mereka harus mencari keilahian wanita yang tersembunyi yang akan membuat mereka bertumbuh dan memenuhi dirinya sebagai seorang individual dan sebagai anggota komunitas. Menurut Luce Irigaray, ini hanya dapat terjadi ketika terdapat seorang Allah yang bergender feminim yang dapat memberikan horizon bagi proses wanita. Luce Irigaray membuka sebuah kemungkinan dalam penjelasannya mengenai mistisisme wanita. Pemikiran ini merupakan satu-satunya tempat dalam pemikiran barat di mana wanita berbicara dan berbuat secara publik. Menurutnya, di sinilah cinta Allah menaklukkan segalanya. Inkarnasi Allah karena itu dapat memberikan sumbangan kepada proses wanita itu sendiri untuk menjadi apa yang disebutnya sebagai wanita ilahi.
  1. Refleksi Kritis atas Tiga Tokoh di Atas
Tema utama yang mendasari seluruh pergulatan filsafat feminisme adalah kekuasaan kaum maskulin atas perempuan. Bagi para filsuf feminis, legitimasi kekuasaan itu sesungguhnya tidak ada. Namun, struktur patriarkal telah menciptakannya sedemikian rupa dalam konteks sosial, historis, dan kultural sehingga seolah-olah legitmasi itu tidak dapat digugat lagi. Bahkan, legitimasi ini didasarkan pada landasan ontologis yang mengakibatkan bukan saja kaum perempuan itu rendah tetapi juga mereka adalah warga kelas dua. Penindasan, kekerasan, kerugian karena itu sangat dekat dengan golongan perempuan. Untuk merubah ini semua, Mary Daly tidak ragu untuk langsung mengarahkan kritknya pada konsep teologis Allah sebagai Bapa. Pendekatan utama yang ia lakukan berdasarkan pada pendekatan paham eksistensialisme dengan maksud menegaskan pengakuan dimensi ontologis tiap pribadi dan sekaligus pula dimensi sosialnya.
Rupanya pendekatan ini sudah mengandung benih penyamaan begitu saja karakter atau sifat Allah dengan karakter atau sifat manusia dan dalam hal ini yang dimaksudkan adalah perempuan. Akibatnya, dasar ontologis diletakkan Daly pada perempuan itu sendiri. Inilah yang kemudian membawa Daly untuk mengubah konsep Allah menjadi ke-Allah-an. Dengan kata lain, menjadikannya lebih abstrak supaya memberi ruang bagi proses atau dinamika perempuan. Usaha ini berarti bahwa konsep Allah dijadikan impersonal, bahkan sekedar sebagai konsep untuk proses transendensi kaum perempuan itu sendiri. Hal ini mau mengatakan Allah tidak lain adalah inkarnasi wanita itu sendiri. Mary Daly mengabaikan jarak antara realitas ilahi dan manusia. Poin inilah yang dilihat oleh Sally McFague.
Dalam usaha mengatasi kesulitan yang ditinggalkan oleh Mary Daly, Sally menggarap apa yang disebut sebagai teologi metaforis. Teologi metaforis berarti teologi yang berdasar pada metafora bahasa religius sebagai pusat pemikirannya. Bahasa religius sebagai sebuah bahasa harus memperhatikan pengalaman manusiawi terutama kaum perempuan. Sally mengistilahkannya sebagai konteks interpretatif yang berarti bahwa seseorang yang berbicara mengenai Allah adalah ada yang bersifat sosial, historis dan kultural. Konteks ini sekaligus memperlihatkan pula pluralitas atau keberagaman yang ada. Di pihak lain, metafora sebagai metafora tidaklah mencukupi. Mengapa? Menurut Sally, metafora dalam dirinya sendiri dapat menjadi berhala maka bahasa demikian perlu ditransisi ke bahasa konseptual. Sayangnya, Sally tidak menjelaskan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan bahasa konseptual. Ia hanya mengandaikan bahasa konseptual menampung juga pengalaman wanita. Apakah Sally memaksudkan konseptualisasi bahasa lebih lanjut? Artinya, apakah konsep Allah sebagai Bapa adalah konsep yang sungguh-sungguh dapat diaplikasikan dalam pengalaman wanita?
Sally sendiri memang mengajukan konsep Allah sebagai Sahabat. Tapi, apakah konsep ini sendiri tidak jatuh dalam pemberhalaan? Artinya, konsep ini sebenarnya adalah suatu ungkapan yang berdasar pada pengalaman konkret tapi diangkat sebagai model penghayatan pengalaman religius. Lebih lanjut, konsep ini sendiri justru melupakan poin transendensi Allah. Apa yang hendak ditolak oleh Sally, yakni pengabaian jarak antara realitas ilahi dan manusia, malahan tanpa disadari masuk dalam pemikirannya mengenai bahasa konseptual. Ia memang menolak dominasi linguistik kaum maskulin, tapi penolakan ini menghantar pada satu pemberhalaan lainnya yang justru melupakan transendensi Allah.
Luce Irigaray yang merupakan seorang post-strukturalis Perancis memusatkan perhatian pada kritik subjek rasional. Menurutnya, pengertian subjek dari Plato hingga Freud selalu dibangun atas dasar maskulinitas. Ini mengakibatkan perempuan menjadi warga kelas dua. Namun, tujuan Irigaray tidaklah menuntut kesamaan seperti para filsuf feminis lainnya. Yang menjadi penekanannya adalah perbedaan. Perbedaan di sini mau berkata bahwa wanita harus mempunyai logikanya sendiri. Ketika kaum perempuan memiliki logikanya sendiri, keberadaannya sebagai manusia yang utuh dan kesetaraannya dengan kaum maskulin diperlihatkan sekaligus.
Pemikiran Irigaray mengenai logika demikian mempunyai konsekuensi lebih lanjut yakni pengandaian adanya Allah yang bergender feminim. Inilah yang memungkinkan pembicaraan mengenai mistisisme wanita. Tapi, pemikiran Irigaray tidaklah tanpa kelemahan. Penekanannya pada mistisisme wanita justru melupakan dimensi praktis kehidupan sosial kaum perempuan. Dengan kata lain, bagaimana bisa menjadi wanita ilahi terlepas dari pengalaman konkret aktual. Secara tidak langsung, ini merupakan akibat  dari pemikiran post-strukturalis yang mengatakan kebenaran itu ada di balik realitas ini. Memang Irigaray memaksudkan mistisisme praktis yang berarti menghayati peran wanita dalam kehidupan sehari-hari, tapi hal ini dilakukan dalam kesendirian, lepas dari dimensi sosialnya. Itulah mengapa pada akhirnya Irigaray mengatakan “woman exist beyond what anyone may think of her”.
  1. Kritik atas Filsafat Feminisme
Dari sisi etimologis, feminisme pada dasarnya adalah paham mengenai wanita. Namun, feminisme juga mengandung unsur gerakan. Dikatakan gerakan lantaran tujuan feminisme dimaksudkan supaya pengalaman, identitas, cara berpikir dan bertidak dilihat sama seperti kaum pria. Inilah yang dapat kita lihat dari gerakan feminisme dewasa ini yang menuntut kesetaraan di bidang politik, sosial, ekonomi dan budaya. Umumnya, gerakan ini membedakan apa yang disebut dengan gender dan seks. Gender adalah sesuatu yang bisa diubah, sementara seks merupakan sesuatu yang dari kodratnya tidak pernah bisa dirubah. Meskipun demikian, gerakan feminisme tidak memisahkannya hanya membedakan saja. Mengapa? Karena manusia selalu sudah terikat dengan jenis kelamin dan konsep gendernya. Kesatuan seksualitas dan tubuh manusia tidak dapat dipisahkan dari definisi diri sebagai individu. Dengan kata lain, status ontologis demikian perlu diperlihatkan dengan jelas bukan justru mengidentifikasi individu berdasarkan pada seksualitas.
Inilah poin yang menjadi kolaborasi filsafat dan feminisme. Hanya saja ketika kaum perempuan memerlukan dasar ontologis yang terungkap dalam cara berpikir epistemologi, metafisika, etika maupun estetika, dasar ontologis ini mensyaratkan perbedaan namun tetap berada dalam kesetaraan. Implikasinya, apa yang disebut dengan kebenaran tunggal itu tidak ada. Ketika kebenaran tunggal ini tidak ada, yang diajukan kemudian adalah apa yang disebut sebagai saling keterhubungan. Poin inilah yang sering disebut sebagai pengakuan akan adanya pluralitas. Artinya, bagaimana memahami cara berada yang berbeda. Keberadaan kaum perempuan lantas dapat dipahami dengan cara demikian.
Gagasan demikian memang memperlihatkan suatu keunggulan pengakuan keberadaan wanita yang berdasar pada kritik sistem filsafat pada umumnya. Tapi, filsafat feminisme sebagai suatu cara berpikir yang berarti menuntut adanya logika, metodologi, dan sebagainya tidak luput juga dari kelemahan. Pertama, filsafat ini mengandaikan aplikasi universal pemikirannya. Ini berarti bahwa mereka hendak menjadikan seluruh sistem filsafat berkarakter feminis. Hal ini menjadi dilema lantaran di satu pihak mereka mengakui bahwa filsafat feminis adalah filsafat yang dapat membebaskan ketertutupan sistem filsafat selama ini dari pemikiran kaum feminis namun di lain pihak pembebasan itu menuntut secara paksa masuknya sistem filsafat mereka. Implikasinya, hierarki idealitas tetap ada. Dengan kata lain, yang ideal itu adalah filsafat feminisme, yang lain tidak. Filsafat feminisme secara tidak langsung menjadi kebenaran tunggal itu sendiri. Kedua, sebagai suatu sistem filsafat, filsafat feminisme menarik jalan pikirannya dari ketertindasan kaum wanita oleh kaum maskulin. Logika ini dapat dilihat dari poin keharusan atau kewajiban kaum wanita. Kewajiban di sini berarti adanya pembatasan kaum wanita untuk menjadi lebih dari sekedar apa yang dijalaninya selama ini (misal, urusan rumah tangga). Yang keliru dari pemikiran demikian adalah bahwa adanya identifikasi kewajiban dengan kekerasan atau ketertindasan. Dengan kata lain, kewajiban disamakan begitu saja dengan ketertindasan itu sendiri. Dalam banyak hal, ini terjadi karena pemikiran kaum feminis sendiri cenderung melihat poin kewajiban sebagaimana tampak dalam pewarisan tradisi pada umumnya. Danterakhir, bagaimana filsafat feminisme berhadapan dengan sistem agama atau budaya pada umumnya atau bagaimana filsafat ini mengaplikasikan dirinya dalam agama dan budaya yang dalam banyak hal dilihat kaum feminis sebagai sumber ketertindasan? Kesulitan ini dapat dilihat dari tiadanya dasar ontologis yang pasti dalam pemikiran filsafat feminisme. Artinya, mereka meletakkan dasar pemikirannya pada relasi, pada suatu yang impersonal. Ini menjadi dilema tersendiri. Di satu pihak mereka menghindari penyembahan kultus personal, namun di lain pihak mereka mendasarkan diri pada suatu yang abstrak, yakni relasi (saling keterhubungan).
Inilah beberapa kritik atau kelemahan yang bisa penulis lihat dari pemikiran filsafat feminisme. Sebagai suatu sistem filsafat, filsafat feminisme tetaplah membutuhkan logika, metodologi, objek, dan sebagainya. Dan sejauh filsafat feminisme memiliki unsur-unsur demikian, filsafat ini tidaklah tanpa kelemahan.

Jumat, 26 November 2010

Neo Kantianisme

adi Lagaligo 
Neo-Kantianisme
(Sebuah Pergumulan Filsafat Agama Abad 20)
A. Sebuah Resume
Neo-Kantianisme adalah paham filosofis yang mengalir dari pemikiran Immanuel Kant. Aliran ini lahir sebagai tanggapan atas ketidakmampuan paham Idealisme yang berusaha menanggapi tantangan ilmu empiris dan positivisme dalam bidang agama. Ketidakmampuan ini dikarenakan argumen-argumen idealisme tetap berada dalam tataran teoritis. Dengan kata lain, argumen atau pemikiran mereka sulit untuk diterapkan dalam tataran praktis. Padahal di lain pihak, baik ilmu empiris dan positivisme menyatakan apa yang benar adalah apa yang dapat dibuktikan melalui dan dalam pengalaman. Agama memang berurusan dengan apa yang super-sensibilis, tapi sekaligus agama juga harus dapat memperlihatkannya dalam kehidupan konkret, praktis, dan aktual. Inilah yang kemudian hendak diusahakan oleh para filsuf Neo-Kantianisme. Akan tetapi, aliran ini tidak hendak menekankan peranan akal budi teoritis dan sintesenya dalam pemikiran religius, melainkan mencari interpretasi baru terhadap agama dalam hubungan dengan akal budi praktis, hidup moral dan kebangkitan zaman empiris.
Ada beberapa aliran atau usaha yang mencari interpretasi baru atas agama berdasar pada pemikiran Kant, yakni pertama, Aliran atau Sekolah Marburg yang menekankan tema logika, epistemologi dan metodologi. Kedua, Sekolah Baratdaya Jerman yang memfokuskan diri pada persoalan mengenai nilai. Ketiga, Hans Vaihinger yang mempersoalkan fiksi dan hipotesa dalam rumusan-rumusan agama. Dan terakhir, Sekolah Teologi Ritschlian yang mengetengahkan revelasi dan kesempurnaan moral Yesus sambil menolak intelektualisasi yang berlebihan terhadap agama serta menjelaskan pentingnya kekuatan moral dalam kehidupan umat beriman.
Dari Aliran atau Sekolah Marburg, ada 3 tokoh yang mewakili yakni Hermann Cohen, Paul Natorp dan Ernst Cassirer. Menurut Cohen, Allah itu unik, I am who I am. Keunikan ini berarti bahwa adanya Allah tidak dapat dibandingkan dengan adanya dunia. Karena itu, Allah tidak mewahyukan diriNya dalam sesuatu melainkan melalui hubungannya dengan sesuatu terutama hubunganNya dengan manusia. Apa yang diwahyukan? Yang diwahyukan Allah adalah akibat dari adaNya, kehendak, norma tindakan, cinta dan keadilan. Revelasi inilah yang menciptakan akal budi. Tapi, terciptanya akal budi hanya dapat terjadi dalam komunitas. Mengapa? Menurut Cohen, setiap individu selalu terikat dalam komunitas atau bangsa. Dengan menyadari bahwa setiap pribadi hendak mewujudkan kebaikan dalam perjumpaan dengan sesamanya, gagasan Allah karena itu dapat ditemukan dalam poin ini. Tapi, gagasan Allah di sini tetaplah sebuah ide yang menjadi penjamin ideal kemanusiaan dan pemberi arah. Pemikiran ini kemudian ditegaskan oleh Paul Natorp dengan mengatakan agama haruslah menjadi agama yang tanpa Allah. Gagasan dasar Natorp adalah bahwa ia meradikalkan pemikiran mengenai revelasi Allah, yakni Allah tidak mewahyukan Diri dalam sesuatu, tapi melalui hubunganNya dengan sesuatu. Karena itu, ia lantas menyatakan perasaan moral-religius adalah pusat kesadaran manusia. Perasaan inilah yang menjiwai dan menyemangati pencarian pengetahuan.
Berbeda dengan kedua pemikir di atas, Cassirer menyatakan agama merupakan bagian dari simbol universalitas. Titik tolaknya adalah bahwa agama pada dasarnya tidak pernah terlepas dari kebudayaan. Karena itu, ia berbicara juga mengenai mitos. Mitos bukanlah sesuatu yang lain atau terlepas dari agama. Mitos, bagi Cassirer, adalah agama potensial. Menurutnya, dalam mitos sudah ditemukan gagasan kesatuan yang menyeluruh. Kesatuan ini tidak terletak atau terpusat dalam pikiran, melainkan perasaan. Dalam perkembangan agama selanjutnya, gagasan perasaan yang menjadi pusat kesatuan ini ditemukan dalam karakter personal yang ilahi dan aspek moralnya. Atas dasar inilah, ia menyatakan manusia bukan semata animale rationale, tapi juga animale simbolicum. Bagi Cassirer, segala yang ada di dunia ini tidak pernah mampu mencerminkan realitas sepenuh-penuhnya. Walaupun demikian, semuanya memberi sumbangan bagi usaha manusia dalam mengkonstruksi yang ideal atau dunia simbolik yang merupakan kebudayaan manusia.
Sekolah Baratdaya Jerman diwakili oleh satu tokoh yakni Wilhelm Windelband. Menurutnya, manusia bukan semata ada yang mengetahui, tapi juga sebagai ada yang menghendaki dan bertindak. Hal ini dikatakannya berdasar pada ketakterpisahan pengetahuan dan nilai dalam kehidupan. Dalam kehidupan, manusia tidak pernah terlepas dari apa yang disebut dengan putusan nilai. Nilai yang dimaksud Wilhelm adalah nilai logika yang berkaitan dengan kebenaran, nilai etika yang berkaitan dengan kebaikan dan nilai estetika yang berkaitan dengan keindahan. Poin penting dari penjelasan ini adalah bahwa sebuah nilai selalu berada dalam kaitan dengan kesadaran yang menilai. Pada poin inilah dapat dibicarakan soal agama. Nilai agama, yakni Yang Kudus karena itu hanya dapat dipahami dalam kaitan dengan nilai-nilai ini. Bagaimana Wilhelm memikirkan nilai Yang Kudus ini? Gagasan dasarnya adalah bahwa kesadaran manusia selalu tertarik pada penilaian yang lebih tinggi. Ini berarti kesadaran manusia akan Allah (yang kudus) senyata juga dengan pengalamannya akan nilai logika, etika dan estetika dalam dunia konkret-aktual. Tapi, ini tidak berarti pengakuan akan eksistensi Allah. Allah bagi Wilhelm tetap hanya ide yang menjamin keterarahan perbuatan manusia.
Pemikiran Vaihinger mengenai agama dapat disimak dari analisanya mengenai fiksi dan hipotesa. Bagi Vaihinger, fiksi adalah kekeliruan konsep yang dilakukan secara sadar dan tak pernah dapat diverifikasi. Sementara hipotesa adalah konsep dan keputusan yang mungkin dan harus diverifikasi melalui pengalaman. Hipotesa inilah yang digunakan untuk mencapai tujuan pikiran. Hipotesa menjadi ‘seolah-olah’ kepastian itu sendiri sebagaimana terdapat dalam realitas. Dalam agama, ide-ide dasar dilihat sebagai fiksi, sementara wujud perintah dan kehendak Allah dalam dogma dan ajaran agama dilihat sebagai hipotesa. Atas penjelasan Vaihinger ini, ide-ide mendasar agama, termasuk Tuhan, imortalitas dan tatanan dunia moral semuanya dipahami sebagai fiksi-fiksi praktis. Secara logis, gagasan dasar hidup sehari-hari juga adalah fiksi. Dalam dirinya, fiksi sesungguhnya bertentangan dengan realitas. Akan tetapi, secara prakteknya, mereka memiliki nilai yang luar biasa besar dalam kehidupan manusia khususnya dalam penghayatan keagamaan.
Dari Sekolah Teologi Ritschlian, ada 3 tokoh yang mewakili. Pertama, Albercht Ritschl yang menyatakan esensi agama Kristiani terletak dalam kesempurnaan moral Yesus. Sebagaimana Yesus bersatu dengan Allah begitu pulalah seharusnya individu dan komunitas kaum beriman. Persatuan ini menggambarkan kesatuan ideal tertinggi antara moralitas dan agama. Kedua, Wilhelm Herrmann yang mengetengahkan tema hidup moral Yesus. Menurutnya, perjuangan umat Kristen di dunia ini dituntun oleh pribadi Kristus Yesus. Dasar pikirannya adalah manusia dari kodratnya sudah memiliki hukum kewajiban. Tapi hukum kewajiban untuk melaksanakan kebaikan hanya dapat dilakukan dalam kebebasan moral dan kebebasan demikian terletak dalam kehidupan moral Yesus yang bersatu dengan Allah. Dan ketiga, Adolf von Harnack yang menyatakan pengalaman yang hidup akan Allah tidak ditemukan dalam rumusan dogmatis sebagai akibat pengaruh filsafat Yunani. Pengalaman ini hanya ditemukan dalam penghayan hidup Yesus serta pengaruhnya bagi manusia lainnya. Pemikiran dasar Harnack adalah sebagaimana Allah hidup dalam diri Yesus, begitu jugalah seharusnya umat beriman memahami kehadiran Allah dalam diri mereka. Allah menjadi pedoman dan prinsip kehidupan mereka dalam kehidupan aktual.
B. Usaha teologis (berteologi) dari perspektif Neo-Kantianisme
Sebelum berteologi dari aliran ini, sebelumnya penulis berusaha melihat kembali pemikiran Kant mengenai Allah. Karena itu, pembahasan ini akan dibagi menjadi 2 bagian, yakni panorama pemikiran Kant mengenai Allah dan berteologi dari sudut pandang ini.
 Pemikiran Kant Mengenai Allah
Pemikiran Kant mengenai agama sesungguhnya berasal dari reaksi terhadap bukti ontologis tentang eksistensi Allah sebagaimana dijelaskan oleh Wolff dan Leibniz. Bagi Wolff dan Leibniz, eksistensi Allah dapat dibuktikan secara teoritis. Artinya, bahwa konsep ‘Allah ada’ sesungguhnya menunjukkan eksistensi atau keberadaan Allah. Pengertian atau konsep ‘ada’ di sini merujuk pada apa yang ada dalam ruang dan waktu. Dengan kata lain, ada dilihat sebagai predikat sebagaimana terdapat dalam objek-objek yang mendiami ruang dan waktu. Implikasinya, konsep bahwa ‘Allah ada’ menjadi konsep konstitutif bagi segala sesuatu yang lainnya. Konstitutif berarti Allah menjadi alasan atau penjelasan terakhir bagi apa yang terjadi dalam dunia dan bahkan menjadi dasar kausalitas terakhir bagi adanya dunia beserta isinya.
Kant menolak pemikiran demikian. Bagi Kant, eksistensi Allah tidak bisa ditarik dari konsep bahwa Allah ada. Konsep ini keliru. Mengapa? Karena ‘ada’ (eksistensi) itu bukanlah predikat sebagaimana dalam pengertian keluasan yang diperuntukkan bagi benda-benda objektif dalam ruang dan waktu. Untuk mengatakan sesuatu itu ada, tidaklah berarti mempredikasikan suatu hal di mana ketika hal tersebut (dalam hal ini pengertian ‘ada’) tidak ada, konsepnya pun menjadi tidak bermakna. Allah itu ada, tapi bahwa adaNya tidak dapat dibuktikan tidak dapat menjadi dasar pernyataan bahwa Allah lenyap, tidak ada, atau tidak bisa dipikirkan. Karena itu, Kant berusaha mencari jalan lain selain jalan bukti teoritis ini dengan mendisiplinkan kemampuan akal budi. Kemampuan budi manusia itu terbatas, maka tidak mungkin budi manusia melampaui apa yang bisa dijangkaunya. Pendisiplinan inilah yang disebut oleh Kant dengan kritik terhadap akal budi.
Ketika pendekatan terhadap eksistensi Allah melalui jalan teoritis tidak dapat dilakukan, maka jalan satu-satunya yang tersisa adalah apa yang Kant sebut jalan praktis. Praktis mengartikulasikan moral, yakni penggunaan budi manusia untuk menentukan baik-buruk dalam kehidupan konkret sehari-hari. Umumnya ini disebut dengan argumen moral. Karena itu, yang menjadi pertanyaan mendasar Kant adalah untuk apa manusia berbuat baik. Dan dipihak lain, bagi Kant, Allah memang tidak dapat dibuktikan keberadaanNya. Allah hanya diandaikan ada. Allah dilihat sebagai postulat yang berarti diandaikan benar demikian. Implikasinya, Allah lantas dipahami sebagai pemberi arah atau dalam bahasa Kant Allah menjadi prinsip regulatif yang memberi penjelasan kausalitas dalam tatanan ruang dan waktu di dunia ini. Agama dengan demikian berada di bawah penjelasan moral ini. Usaha Kant ini, dengan demikian, membalikkan cara berpikir metafisika sebelumnya dengan melepaskan dasar ontologis dari penjelasan metafisis mengenai Allah. Dengan demikian, Allah dalam pemikiran Kant berada dalam struktur kategoris akal budi.
 Berteologi
Setelah melihat pemikiran Kant di atas dan secara tidak langsung bagaimana Kant memahami agama, pembahasan ini berusaha untuk berteologi dari sudut pandang pemikiran Kant tersebut dalam konteks Indonesia dewasa ini.
Sama seperti negara-negara lain, Indonesia pun mengalami tantangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi. Budaya teknologis seperti layar LCD sudah masuk ke dalam Gereja-gereja di kota besar, seminar atau pun kursus teologis yang bertujuan semakin memahami nilai dan pesan Yesus pun sudah banyak dilakukan, adanya fenomena gerakan karismatis yang ramai diikuti, dan lain sebagainya. Semuanya ini mengindikasikan pencarian manusia akan Allah. Mengapa Allah dicari? Barangkali mereka merasa bahwa Allah sudah hilang dari hidup mereka sehingga usaha apa pun dilakukan untuk menenangkan kembali perasaan hati yang gelisah. Tapi, apakah Allah benar-benar ada? Kalau ada, bagaimana merasakannya atau memikirkannya? Poin ini hendak menegaskan kembali perlunya fungsi kritik terhadap budi manusia. Namun, di pihak lain, budi manusia menuntut adanya penjelasan terakhir bagi hidupnya. Untuk apa? Supaya tiap perbuatan yang dilakukan dapat menghantar pada apa yang disebut dengan kebahagiaan. Tapi, setelah melihat gagasan Kant mengenai Allah dalam penjelasan di atas, berteologi dari perspektif Kant berarti bersoal jawab dengan perbuatan manusia yang berkaitan dengan keutamaan hidup moral dan secara langsung pula dengan poin kebahagiaan.
Agama Kristiani adalah agama cinta kasih. Dikatakan demikian karena arti menjadi manusia diletakkan pada dasar perbuatan (bdk. Mat 25: 31-46). Mengapa perbuatan? Karena perbuatan menunjukkan apa yang ada dalam diri manusia, yakni keyakinan. Terminologi religius menyebutnya dengan iman kepada Allah. Akan tetapi, keyakinan ini belum cukup memenuhi sebagai syarat keutamaan hidup moral. Mengapa? Lantaran keyakinan itu sendiri dapat disalahgunakan untuk tujuan buruk. Inilah yang kemudian terjadi pada gerakan-gerakan kekerasan atas nama agama. Keyakinan agama menjadi dasar penilaian realitas padahal di pihak lain agama itu sendiri adalah suatu realitas. Agama seolah-olah mengangkat dirinya menjadi tuhan dan karena itu tidak dapat salah. Inilah kritik paling tajam yang datang dari ilmu empiris dan positivisme. Lantas, apa yang menjadi kriteria perbuatan manusia ketika agama tidak lagi dapat diandalkan? Menurut Kant satu-satunya kriteria adalah kehendak baik. Dengan kata lain, kehendak baik merupakan prinsip tertinggi yang merupakan hukum moral bagi perbuatan manusia.
Dalam dirinya kehendak baik selalu mengarah kepada kebaikan. Tapi, kehendak sebagai kehendak belumlah dapat dinilai. Kehendak ini mesti diwujudkan dalam tataran praktis. Artinya, kehendak baik ini mesti tampil dalam bentuk-bentuk perbuatan. Tempat di mana perbuatan manusia itu tampil adalah dalam komunitas. Mengapa komunitas? Karena setiap pribadi yang berjumpa satu sama lain hendak atau berusaha menyadari dan mewujudkan kebaikan dan ini dapat dicapai dalam relasi yang bebas dengan orang lain. Dalam banyak hal, agama Kristiani dewasa ini memang berusaha untuk belajar dan menghayati bagaimana komunitas pertama di Yerusalem menjalankan dan menghayati pesan-pesan Yesus. Di lain pihak, komunitas pertama tersebut, selain para rasul, tidak mengalami Yesus secara fisik. Tapi, mereka menjalankan pesan-pesan itu secara bebas. Kebebasan di sini lantas menjadi poin penting untuk mengerti halnya relasi dalam hidup berkomunitas.
Poin kebebasan di atas memaksudkan bahwa perwujudan hukum moral hanya dapat dilaksanakan dalam kebebasan itu sendiri. Hal ini berkaitan dengan pemahaman bahwa pesan Yesus adalah pesan moral yang berlandaskan pada ajaran kasih. Dalam arti tertentu, manusia tidak mungkin bisa meletakkan kebebasan dalam ruang kosong. Kebebasan itu tampak dalam pilihan perbuatan manusia. Inilah yang membuat hukum moral bisa berlaku lantaran ada kebebasan. Selain itu, perbuatan hanya dapat dipahami dalam relasinya dengan sesama. Kehadiran sesama inilah yang kemudian menciptakan akal budi. Akal budi lantas menciptakan hukum yang mengatur dan yang memberi bentuk pada perbuatan manusia dalam relasi dengan sesamanya. Dengan melaksanakan hukum moral dalam batinnya, manusia lantas dapat mencapai kebahagiaan. Tapi, ini tidak berarti bahwa akibat perbuatan itulah yang menghasilkan dan memberi kebahagiaan. Justru sebaliknya, yakni melaksanakan kewajiban dalam batinnya itulah yang menjadikan seorang bahagia. Prinsip demikian mesti terdapat juga dalam diri orang lain. Moralitas di sini karena itu dapat dimengerti sebagai kesesuaian sikap dan perbuatan seseorang dengan norma atau hukum batiniahnya yang dilihat sebagai kewajibannya. Dengan kata lain, hukum batiniahnya adalah kewajiban manusia itu sendiri. Pemahaman ini lantas menghantar pada pemahaman selanjutnya bahwa manusia itu pada dasarnya bukan semata ada yang mengetahui, melainkan juga ada yang menghendaki dan bertindak. Manusia menghendaki karena ia menghendaki yang baik dan itu terwujud dalam dan melalui perbuatan atau tindakannya.
Tapi bagaimana manusia mengenal bahwa hukum batiniahnya itu baik adanya? Dalam pemahaman di atas gagasan Allah perlu dimengerti. Pada poin tersebut, Allah lantas menjadi penjamin bahwa kewajiban manusia itu sungguh-sungguh baik. Hal ini membawa implikasi yakni bahwa agama sesungguhnya merupakan pengakuan kewajiban-kewajiban manusia sebagai perintah ilahi. Dengan kata lain, agama diletakkan di bawah moralitas. Penulis melihat bahwa pengertian relasi moralitas dan agama yang demikian ini terwujud dalam apa yang disebut Komunitas Basis Gerejani. Struktur budi manusia lantas memungkinkan terciptanya kehidupan yang harmonis dan damai dalam komunitas. Penghayatan pesan moral Kristus yang dilakukan dalam kehidupan komunitas dapat menjadi acuan bahwa manusia selain terdorong oleh kewajibannya membantu sesama juga sekaligus merupakan tujuan bagi dirinya sendiri. Karena itu, dalam komunitas penghargaan akan martabat dan harkat manusia sebagai manusia terlihat dengan jelas. Komunitas menjadi penyalur rahmat dan anugerah Kristus. Relasi demikian menghumanisasikan manusia kembali sebab dasar dan tolak ukur ini bukan tentang ajaran-ajaran Gereja ataupun soal-soal mengenai Allah tetapi pribadi-pribadi manusia yang konkret, yang hidup dalam sejarah dunia ini. Jika setiap manusia dapat melakukannya, kebahagiaan manusia dapat tercapai dalam dunia ini.
Pemikiran mengenai keutamaan hidup moral memang telah dicetuskan oleh Gereja Indonesia dengan menyatakan perlunya habitus baru dalam menyikapi perkembangan dunia ini. Habitus baru itu menandaskan kembali perlunya sikap moral manusia terhadap sesamanya dan dunia. Ketika manusia diperhadapkan dengan tuntutan efektivitas waktu, hasil kerja, prosedur dan lain sebagainya, manusia pasti menghadapi aneka pilihan yang perlu dilakukan. Pilihan inilah yang menjadikan manusia itu dewasa. Dalam konteks agama Kristiani, pilihan ini tampak dalam iman. Namun, iman itu sendiri belum mencukupi sebagai dasar perbuatan moral. Dimensi sosial iman itulah yang kiranya perlu dikembangkan lebih lanjut dalam kemauan membantu sesama melalui komunitas. Penulis menyadari bahwa Komunitas Basis Kristiani itu sendiri hanyalah bentuk bagi usaha penghayatan iman. Untuk wujud konkret bagaimana iman itu dihayati dalam kehidupan konkret-aktual, hal tersebut perlu memperhatikan konteks situasi dan kondisi yang dihadapi oleh kaum beriman.
C. Catatan Kritis
Perbuatan manusia jelas memerlukan pendasaran metafisis supaya manusia mengetahui untuk apa ia berbuat kebaikan. Tapi kehadiran ilmu empiris dan positivisme menjadikan pendasaran metafisis demikian perlu dibuktikan melalui pengalaman. Mengapa perlu dibuktikan? Karena apa yang tidak dapat dibuktikan dalam dan melalui pengalaman, pendasaran tersebut kehilangan legitimasinya sebagai sebuah pendasaran. Pukulan telak jelas jatuh pada agama. Agama lantas mencoba mencari cara baru untuk menjelaskan hal ini. Dalam bidang filsafat, salah satu yang diusahakan adalah dengan merujuk kembali pada pemikiran Kant mengenai akal budi praktis dan hidup moral. Tetapi, usaha para tokoh Neo-Kantianisme tidaklah tanpa celah. Sebagaimana dikatakan Karl Jasper, para pemikir tersebut mengabaikan batas-batas yang ditetapkan oleh Kant terhadap akal budi. Mereka mengubah akal budi menjadi roh dan pikiran menjadi pikirannya Allah. Cohen misalnya berkata bahwa revelasi kehendak Allah itulah yang menjadikan manusia rasional. Dengan kata lain, revelasi menciptakan akal budi. Titik lemah Cohen terletak pada pemahamnnya mengenai revelasi itu sendiri. Cohen melihat revelasi itu seolah-olah realitas itu sendiri. Padahal revelasi hanyalah satu penampakan saja, semacam satu keterangan mengenai realitas yang tersembunyi dari akal budi. Pada Natorp, titik lemahnya terletak pada pemahamannyan mengenai perasaan religius. Ia melihat bahwa perasaan religius tidaklah memiliki tujuan apa pun juga. Perasaan ini mengubah dan menggantikan kategori budi manusia dalam menilai dan memutuskan pilihan tindakan manusia. Implikasinya, tiap fenomena yang masuk ke dalam diri manusia lantas tidak dapat diputuskan dalam suatu pengertian dan karena itu juga dalam relasi kausalitas. Padahal perbuatan manusia itu selalu berkarakter konkrit dan subjektif yang terjadi dalam ruang dan waktu.
Pada umumnya, titik lemah yang diperlihatkan para filsuf Neo-Kantianisme tidak terlepas dari kelemahan pemikiran Kant sendiri. Pertama, ketika Kant melepaskan dasar ontologis dari penjelasan kausalitas yang terjadi adalah bahwa realitas itu sendiri tidak dapat dikenal. Manusia hanya mengenal apa yang ditampakkan oleh realitas. Karena itu apa yang menjadi pengetahuan manusia sesungguhnya hanya merupakan keterangan-keterangan mengenai realitas itu sendiri. Kedua, mengenai perbuatan moral. Hukum moral Kant tidak memuat isi dari perbuatan, melainkan syarat manusia untuk berbuat. Syarat inilah yang diharapkan Kant menjadi prinsip universal bagi tindakan manusia. Implikasinya adalah Kant menolak apa yang datang dari luar termasuk perasaan dan nilai. Tapi, sebagaimana dikatakan oleh Max Scheler, manusia menaati kewajibannya bukan demi kewajiban itu sendiri melainkan ia menyadari sesuatu sebagai kewajibannya karena sesuatu itu mempunyai nilai. Jadi sikap moral berkaitan dengan nilai. Dan terakhir, Kant melepaskan akibat perbuatan dari kodrat perbuatan itu sendiri. Dengan kata lain, sebagai sebuah tindakan moral, perbuatan dalam diri dirinya tidak mempunyai kekuatan untuk menghasilkan atau memproduksi sesuatu.
Dari sisi teologis, para teolog seperti Albercht Ritschl, Wilhelm Herrmann, dan Adolf von Harnack menekankan moralitas di atas intelektualisasi yang berlebihan terhadap pribadi Kristus dan agama Kristiani. Moralitas yang dimaksud di sini adalah moralitas yang ditunjukkan oleh pribadi historis Yesus. Implikasinya, mereka membatasi pengetahuan pada wilayah realisme wahyu historis tertentu dan dalam hal ini wahyu itu adalah pribadi Yesus. Memang gambaran Yesus historis dapat ditemukan dalam Injil tapi tidak semuanya digambarkan. Lagi pula, dari penyelidikan kritis-ilmiah terhadap Yesus sebagaimana terdapat dalam Injil, tidak mudah untuk menemukan gambaran Yesus yang sesungguhnya. Banyak hal merupakan tambahan dari para muridNya. Inilah yang menyulitkan penghayatan iman konkret dalam dunia dewasa ini. Ritschl, misalnya, mengatakan kesatuan moralitas dan agama terungkap dalam kehidupan etis Yesus. Hermann bahkan melihat iman sebagai penempatan manusia ke dalam keadaan baru dengan melihat Kitab Suci sebagai semata sarana untuk itu. Ringkasnya, imanlah yang menyelamatkan manusia. Sementara Harnack berpendapat bahwa pribadi Yesus dan pengaruhnya kepada orang lain hingga hari inilah yang harus diperhatikan. Keutamaan hidup moral Kritus menjadi poin penting di mana kemudian Harnack menyimpulkan agama adalah jiwa moralitas dan moralitas menjadi tubuh agama. Dalam agama Kristiani, Injil adalah pesan yang memastikan manusia akan hidup abadi dan yang menyampaikan nilai dari segala sesuatu. Pengetahuan memang penting (pengetahuan mengenai Injil dan hidup Yesus), akan tetapi pengetahuan demikian bukanlah merupakan esensi Injil. Memang tidak selalu mudah untuk menemukan iman dan teologi Perjanjian Baru.
Acuan Tambahan
Tjahjadi, Lili. Hukum Moral: Ajaran Kant tentang Etika dan Imperatif Kategoris. Yogyakarta: Kanisius, 2001.
Kant’s Philosophy of Religion dalam www.stanford.edu/philosophy.html diakses tanggal 5 Oktober 2008.

Rabu, 27 Oktober 2010

Salam nafas Islam

salam hijau hitam : momentum 5 november mendatang patutlah kita telaah lebih dalam lagi, betapa besar keinginan dan harapan kita bersama untuk bisa dan tetap menjunjung nilai - nilai demokrasi meskipun dalam ritme yang penuh goncangan dan jalan demoktrasi yang  terjal serta derasnya input-input kepentingan yang bisa saja meruntuhkan idealisme para kader "green black". moment di depok mendatang akan diramaikan oleh warna-warni kecemerlangan para kader HMI dari berbagai daerah di indonesia. di sana kita akan menyaksikan bagaimana terangnya forum demokrasi kongres yang dioenuhi dengan kedap-kedip statement dan argumentasi laskar hijau hitam yang benar-benar menjunjung budaya bermajelis.
kami dari semua cabang di makassar sangatlah berharap agar mementum yang dirangkaikan dengan pergulatan akbar para bakal calon ketua umum periode berikutnya agar siapa pun yang mewakili kemenangan kita bersama benar-benar siap dan mampu membawa HMI tetap berjaya demi terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhai Allah AWT.
salam mahaiswa,  two thumbs for HMI to YAKUSA

Kamis, 02 September 2010

Stephen Hawking: Tuhan Bukan Pencipta Alam Semesta

TEMPO Interaktif, Fisikawan Inggris Stephen Hawking yakin bahwa keberadaan manusia dan alam semesta bukan hasil ciptaan Tuhan, melainkan muncul dengan sendirinya. Sebab ada hukum gravitasi, alam semesta bisa menciptakan dirinya sendiri.

Dia mengklaim tidak ada kekuatan ilahiyah yang dapat menjelaskan mengapa alam semesta ini terbentuk.

Dalam buku terakhirnta, The Grand Design, dikutip oleh The Times, Hawking menjelaskan "Sebab di sana ada hukum gravitasi, alam semesta dapat dan akan menciptakan dirinya sendiri."

Di buku A Brief History of Time, Prof Hawking tidak menafikkan kemungkinan turut campurnya Tuhan dalam penciptan dunia.

Dia menulis di bukunya tahun 1988, "Jika kita menemukan sebuah teori yang lengkap, maka hal tersebut menjadi kemenangan nalar manusia. Oleh sebab itu, kita akan mengenal Tuhan."

Hawking, dalam buku terbarunya, menolak teori Isaac Newton yang menyatakan bahwa terciptanya alam semesta terbentuk tidak secara spontan namun digerakkan oleh Tuhan.

Stephen William Hawking lahir di Oxford, 8 Januari 1942 adalah seorang ahli teori fisika. Ia putra dari seorang guru besar matematika di Universitas Cambridge.

Dalam kiprah keilmuannya, Hawking terkenal karena sumbangannya di bidang fisika kuantum. Di bidang agama, menurut bekas istrinya, Jane, Hawking adalah seorang atheis. Namu Hawking mengaku bahwa ia "tidak religius secara akal sehat" dan ia percaya bahwa "alam semesta diatur oleh hukum ilmu pengetahuan. Hukum tersebut mungkin dibuat oleh Tuhan, tetapi Tuhan tidak melakukan intervensi untuk melanggar hukum."

Kamis, 05 Agustus 2010

" Tangisan Rakyat ku"

Namanya, menyelimuti jagat Ilahi
Terpandang Langkahnya mencari pintu perduan 
Rintihannya senyap dari pandangan dunia yang penuh kebohongan
Tangisnya menjewer mendambakan keadilan di negeri ini
Goresan pedih menyelimuti segenap jiwanya dari gigitan anjing-anjing Birokrasi
Ratapannya merontah menaburkan sejuta harapan yang tak tertuai

Mereka, Rakyat ku yang menangis
Perasan keringatnya yang menjelmakan kehidupan untuk putra-putrinya

Rakyatku, tancapkan belati di perut jagat ini
biarkan bumi menangis melotarkan cacian para penghuni yang munafik
hamparkan bayang-bayang kebenaran yang selama ini tarabaikan
terabaikan lantaran bengisnya tangan-tangan kaum borjuis

tangisanmu menjewer semangat anak cucu mu
anak cucu mu yang merindukan kebebasan dan keadilan
biarkan semua tertawa, biarkan semua memaki
selama tangisan itu berbuah darah juang putra-putri mu.






Jumat, 23 Juli 2010

Pergerakan Islam dalam nuansa holistic


"Islam adalah agama yang merasuk kedalam jiwa setiap manusia (fitrah). Islam yang dikenal dengan Rahmatan lil alamin merupakan petunjuk bagi yang memahami esensi dari petunjuk itu"

Dua penggambaran model pergerakan Islam di Indonesia yang dianalisis Miichi (fenomena Islamic Left dan Partai Keadilan Sejahtera) menarik untuk didiskusikan. Meskipun sayang sekali keseluruhan isi bukunya masih berbahasa Jepang sehingga penulis cukup kesulitan memahami keseluruhannya. Pada akhir analisisnya Miichi mengemukakan bahwa Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sulit dipertimbangkan sebagai partai radikal sebab melihat metode-metode yang dilakukannya menggunakan metode-metode moderat. Dalam konteks keterbatasan analisis, Miichi masih menyisahkan lobang-lobang untuk bisa memahami secara menyeluruh tentang Pergerakan Islam Kontemporer di Indonesia. Termasuk diakui Miichi saat diskusi dengan penulis atas luputnya perhatian Miichi terhadap fenomena HMI MPO yang sejumlah alumninya juga aktif di PKS. Miichi kemudian menegaskan dalam bincang-bincang usai penulis menjadi panelis bedah bukunya yang diselenggrakan PIP PKS Jepang beberapa waktu lalu bahwa dirinya tertarik untuk meneliti HMI MPO.
Pada akhirnya Miichi kemudian meyakini bahwa tidaklah tepat jika melihat Pergerakan Islam Kontemporer di Indoneisa hanya dilihat secara dikotomis antara Islam Radikal dengan Islam Moderat. Sebab memang Pergerakan Islam di Indonesia spektrumnya amat beragam dan ini potensi besar bagi bangkitnya model pergerakan Islam yang makin matang dan menarik di Indonesia.

Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa pergerakan Islam di era modern ini sungguh belum sepenuhnya terorganisir secara holistic. Hadirnya paradigma yang masih masuk ke dalam kategori "Fallacy Of dramatic instance" menurut kang Jalaluddin Rakmat masih membelenggu dalam pandangan sebagian individu yang terangkul dalam berbagai lembaga dan mazhab. pandangan seperti ini sungguh belum mampu mengantar pergerakan Islam ke dalam tataran wahana Ilmia dan Holistic.
memang tidak bisa dipungkiri bahwa perbedaan adalah hal yang essensial, namun objektivitas dari pandangan kita haruslah sedikit menjadi perhatian yang penting dalam mewujudkan Islam yang Holistic. karena "Islam sebagai Rahmatan lil 'alamin" adalah landasan penting yang menjadi dasar asumsi tersebut. sekiranya jika islam belum bisa diholistickan maka panutan plural merupakan dasar awal kita dalam meramu persepsi tentang gerakan islam. dari situlah kita akan mendapati nuansa islam seperti apa selanjutnya. baik dari segi politic, sosial, budaya, economi, dan ilmu pengetahuan.

demikian sedikit pengantar tentang holistic islam, hasil pengkajian kami akan menjadi inti dari materi ini.
((adhi-12 january))

kediri, 03 mei 2010




Sabtu, 03 Juli 2010

Sejarah korban 40.000 jiwa yang Terabaikan


aksi mahasiswa sidrap bersama rakyat karebosi di kantor DPRD sidrap pada pebruari 2010 lalu menghasilkan kasepakatan bersama wakil rakyat tentang penganggaran makam pahlawan di karebosi ke dalam APBD kab. sidrap. apalagi akses dan penerangan menuju makam di karebosi hingga saat ini belum dinikmati oleh penduduk karebosi. padahal mengingat bahwa di desa tersebut terdapat makam nasional perjuangan rakyat karebosi dalam tragedi berdarah 40.000 jiwa. para anggota dewan yang duduk di parlemen seolah-olah hanya lepas dari tanggung jawab ini. hal ini sangat berbanding terbalik dengan buaian retorikanya saat kampanye pemilihan legislatif. sehingga rakyat hanya menjadi korban dari kelalaian dan keterabaian mereka.
Rakyat karebosi kini hanya menanti dan menanti janji-janji wakil rakyat yang telah disepakati beberapa bulan yang lalu di atas kertas putih yang disaksikan oleh rakyat seluruh tanah air. betapa sengsara penderitaan yang dialami oleh rakyat karebosi hingga saat ini. rupanya perjanjian untuk perbaikan makam "Pahlawan korban 40.000 jiwa di Karebosi" hanyalah tinggal kenangan. inikah cara kita menghargai perjuangan bangsa indonesia dalam merebut kemerdekaan yang kita nikmati sekarang? hanya para wakil rakyat yang menjadi tumpuan masyarakat karebosi, akan tetapi hingga saat ini perbaikan makam dan akses menuju makam korban 40.000 jiwa di karebosi belum terealisasi. kejelasan tentang dimasukkannya makam tersebut ke dalam APBD belum menuai bukti yang kongkrit yang ditunggu masyarakat dan rkyat segenap tanah air. inikah bentuk kelambanan para anggota dewan yang duduk di parlemen?
sejarah akan terabaikan?
beberapa saksi hidup yang masih berdomisili di karebosi menyatakan bahwa semenjak direhabilitasinya makam oleh masyarakat beberapa tahun yang lalu dengan peralatan seadanya, tidak ada lagi bentuk perhatian pemerintah daerah terhadap makam ini. pemerintah daerah seolah-olah acuh tak acuh dalam menangani salah satu peniggalan sejarah nasional ini. hanya insan-insan yang nasionalislah yang ditunggu oleh rakyat untuk merenungkan dan mengambil tindakan untuk merehab identitas bangsa tersebut.

Jumat, 14 Mei 2010

" MENGUPAS KEMBALI SEJARAH BANGSA YANG HAMPIR TERLUPAKAN



Bissu dari Bone

Bissu dari Bone

" Bugis History"

Tentang Bissu
Sepertinya hanya di budaya Bugis, dikenal lima (5) jenis gender. Menurut penelitian anthropolog Australia, Sharyn Graham dalam research reportnya; Sex, Gender and Priests in South Sulawesi, Indonesia, IIASNewsletter 29 November 2002 27 , budaya Bugis mengenal empat jenis gender dan satu para-gender; laki-laki (oroane), perempuan (makunrai), perempuan yang berpenampilan seperti layaknya laki-laki (calalai), laki-laki yang berpenampilan seperti layaknya perempuan (calabai) dan para-gender bissu (Lihat juga Manusia Bugis, C Pelras, hal 191). Jenis yang terakhir ini lebih banyak disalah artikan dan dianggap identik dengan jenis calabai, walau secara peran dan kedudukannya dalam budaya Bugis tidak demikian. Juga, tidak sedikit yang mempertautkan keunikan para-gender Bissu ini dengan kepercayaan lokal yang disebut Tolotang, hal yang mana dibantah secara nyata oleh komunitas
Amparita Sidrap yang menjadi representasi penganut Tolotang dalam suku Bugis.

Kehadiran dan Peranannya Gambaran pergeseran struktur nilai dalam kebudayaan Bugis selayaknya bisa kita sematkan pada salah satu realitas budaya bugis yang mulai terpinggirkan; Bissu. Peran Bissu di awal pembentukan masyarakat Bugis sangatlah kuat. Keberadaan Bissu dalam sejarah manusia Bugis dianggap sezaman dengan kelahiran suku Bugis itu sendiri. Ketika Batara Guru sebagai cikal bakal manusia Bugis dalam sure’La Galigo, turun ke bumi dari dunia atas ( botinglangik) dan bertemu dengan permaisurinya We Nyili Timo yang berasal dari dunia bawah (borikliung), bersamaan dengan itu turun pula seorang Bissu pertama bernama Lae-lae sebagai penyempurna kehadiran leluhur orang Bugis tersebut. Menurut tutur lisan Hajji Baco’, seorang Bissu , Batara Guru yang ditugasi oleh Dewata mengatur bumi rupanya tidak punya kemampuan management yang handal, karenanya diperlukan bissu dari botinglangik untuk mengatur segala sesuatu mengenai kehidupan. Ketika Bissu ini turun ke bumi, maka terciptalah pranata-pranata masyarakat Bugis melalui daya kreasi mereka, menciptakan bahasa, budaya, adat istiadat dan semua hal yang diperlukan untuk menjalankan kehidupan di bumi. Melalui perantara bissu inilah, para manusia biasa dapat berkomunikasi dengan para dewata yang bersemayam di langit. Bissu adalah pendeta agama Bugis kuno pra-Islam. Bissu dianggap menampung dua elemen gender manusia, lelaki dan perempuan ( hermaphroditic beings who embody female and male elements), juga mampu mengalami dua alam; alam makhluk dan alam roh (Spirit). Ketua para bissu adalah seorang yang bergelar Puang Matowa atau Puang Towa. Secara biologis, sekarang, bissu kebanyakan diperankan oleh laki-laki yang memiliki sifat-sifat perempuan (wadam) walau ada juga yang asli perempuan, yang biasanya dari kalangan bangsawan tinggi, walau tidak mudah membedakan mana bissu yang laki-laki dan mana bissu yang perempuan. Dalam kesehariannya, bissu berpenampilan layaknya perempuan dengan pakaian dan tata rias feminim, namun juga tetap membawa atribut maskulin, dengan membawa badik misalnya. Dalam pengertian bahasa, bissu berasal dari kata bugis; bessi, yang bermakna bersih. Mereka disebut Bissu karena tidak berdarah, suci (tidak kotor), dan tidak haid. Ada juga yang menyatakan bahwa kata Bissu berasal dari kata Bhiksu atau Pendeta Buddha, sebagaimana diungkapkan oleh C Pelras dalam Manusia Bugis, hal 68, sebagai salah satu bentuk pengaruh bahasa Sansekerta dalam bahasa Bugis. Tentang agama Buddha sendiri, beberapa sanak-saudara saya yang tinggal di Sengkang mengaku masih menganut agama Buddha ini, yang dikatakan sebagai agama mula-mula orang Bugis. Mereka masih melakukan ritual keagamaan tersendiri, walau saya belum melakukan perbandingan dengan ritual agama Buddha yang dilakukan oleh umumnya masyarakat Buddha di Indonesia. Juga ada bukti sejarah yang memperkuat fenomena ini, misalnya penemuan Arca Buddha bercorak Amarawati di Sempaga di pantai Sulawesi Selatan yang berasal dari abad II Masehi. Ditengarai bahwa para pendeta Buddha, Biksu ini ‘menumpang’ kapal-kapal dagang India menuju perairan Nusantara. Dalam struktur budaya bugis, peran Bissu tergolong istimewa karena dalam kehidupan sehari-hari dianggap sebagai satu-satunya operator komunikasi antara manusia dan dewa melalui upacara ritual tradisionalnya dengan menggunakan bahasa dewa/langit ( basa Torilangi), karenanya Bissu juga berperan sebagai penjaga tradisi tutur lisan sastra Bugis Kuno sure’ La Galigo (pesan Lagaligo). Apabila sure’ ini hendak dibacakan, maka sebelum dikeluarkan dari tempat penyimpanannya, orang menabuh gendang dengan irama tertentu dan membakar kemenyan. Setelah tabuhan gendang berhenti, tampillah Bissu mengucapkan pujaan dan meminta ampunan kepada dewa - dewa yang namanya akan disebut dalam pembacaan sure’ itu. Bissu juga berperan mengatur semua pelaksanaan upacara tradisional, seperti upacara kehamilan, kelahiran, perkawinan ( indo’ botting), kematian, pelepasan nazar, persembahan, tolak bala, dan lain-lain. Sakti?

Dari surek La Galigo sendiri sebagai referensi utama sejarah purba suku Bugis, membuktikan bahwa justru kehadiran Bissu dianggap sebagai pengiring lestarinya tradisi keilahian/religiusitas nenek moyang. Di masa lalu berdasarkan sastra klasik Bugis epos La Galigo, sejak zaman Sawerigading, peran Bissu sangat sentral, bahkan dikatakan sebagai mahluk suci yang memberi stimulus ‘perahu cinta’ bagi Sawerigading dalam upayanya mencari pasangan jiwanya; We Cudai. Di tengah kegundahan Sawerigading yang walau sakti mandraguna tapi tak mampu menebang satu pohon pun untuk membuat kapal raksasa Wellerrengge, Bissu We Sawwammegga tampil dengan kekuatan sucinya yang diperoleh karena ambivalensinya; lelaki sekaligus perempuan, manusia sekaligus Dewa (Sharyn Graham, 2002). Kisah kesaktian Bissu ini dapat juga kita temukan dalam kisah Arung Palakka ketika pada tahun 1667 melakukan penyerbuan bersama tentara Soppeng terhadap Lamatti, sebuah distrik di Bone Selatan, sebanyak seratus Bissu Lamatti tampil dengan senjata walida (pemukul tenun) sambil mendendangkan memmang (nyanyian). Anehnya, tak satupun senjata prajurit Bone dan Soppeng yang mampu melukai para bissu sakti tersebut (LY Andaya, 2006, hal 106). Dalam ritual yang masih bisa ditemui sampai sekarang, tradisi maggiri’ merupakan salah satu pameran kesaktian Bissu. Tradisi menusuk diri dengan badik ini dimaksudkan untuk menguji apakah roh leluhur/dewata yang sakti sudah merasuk ke dalam diri bissu dalam sebuah upacara, sehingga apabila sang Bissu kebal dari tusukan badik itu, ia dan roh yang merasukinya dipercaya dapat memberikan berkat kepada yang meminta nya. Namun, apabila badik tersebut menembus dan melukai sang Bissu, maka yang merasukinya adalah roh lemah atau bahkan tidak ada roh leluhur sama sekali yang menghinggapi (Sharyn Graham).

Menjadi Bissu

Menjadi Bissu dipercaya merupakan anugerah dari dewata. Tidak semua orang, bahkan jenis calabai, bisa menjadi bissu atas kehendak sendiri. Walaupun sebahagian besar Bissu pada mulanya memiliki kecenderungan sebagai calabai. Metamorfosis menjadi seorang Bissu biasanya dimulai sejak kanak-kanak, ketika seorang anak mengidap ambiguitas orientasi seksual dan di saat yang sama menampakkan ‘keterkaitan’ dengan dunia gaib. Anak-anak dengan keunikan ganda ini kemudian akan dipersiapkan menjadi bissu. Untuk menjadi bissu diperlukan banyak persyaratan untuk membuktikan bahwa dia menerima ‘berkat ‘itu diantaranya berbaring dalam sebuah rakit bambu di tengah danau selama tiga hari tiga malam tanpa makan, minum dan bergerak. Jika berhasil, maka dia kemudian akan ditahbiskan menjadi Bissu sejati (Sharyn Graham).

Konflik dengan Islam?
Namun di saat yang bersamaan, karena proses konstruksi politik dan agama, Bissu dianggap sebagai satu celah yang tercela dalam masyarakat Bugis modern yang Islami karena dianggap menentang sunnatullah yang hanya mengenal jenis gender laki-laki dan perempuan, selain peran sinkretisme yang dibawanya. Bahkan salah satu doktrin yang memojokkan status mereka adalah adanya pemeo bahwa bila menyentuh Bissu atau calabai maka konon akan membawa sial selama 40 hari – 40 malam. Ironis! Menjadi bissu tidak lagi dianggap dapat menaikkan derajat sosial sebagaimana yang berlaku di masa lampau, malah mendatangkan petaka keterasingan dalam masyarakat (agamis) Bugis modern. Dalam beberapa diskursus, eksistensi Bissu cenderung fenomenal mengingat keberadaannya yang kontroversial dalam masyarakat Bugis modern yang Islami. Karena keberadaannya yang ambivalen, bissu dianggap tidak menerima sunnatullah, karena secara fisik mereka adalah laki-laki tapi berpenampilan seperti perempuan ( tranvestities). Bissu juga dianggap menyimpang dari agama karena kecenderungannya menganggap arajang dan mustika arajang memiliki kekuatan gaib dari leluhur (dinamisme). Padahal, menurut para bissu itu, mereka justru melakukan pemujaan terhadap Tuhan walau dengan tata cara ritual yang mereka yakini. Dan juga, mereka tidak menolak sunnatullah, melainkan menerima dan menjalankan sunnatullah.

Di tahun 1950-an saat pecah pemberontakan DI/TII Kahar Muzakar, Bissu merupakan salah satu pihak yang paling menderita. Kahar Muzakkar menganggap kegiatan para Bissu ini adalah menyembah berhala, tidak sesuai dengan ajaranIslam dan membangkitkan feodalisme. Karena itu kegiatan, alat-alat upacara, serta para pelakunya diberantas. Ratusan perlengkapan upacara dibakar atau di tenggelamkan ke laut. Banyak sanro (dukun) dan Bissu di bunuh atau dipaksa menjadi pria yang harus bekerja keras. Penderitaan para Sanro dan Bissu masih berlanjut ketika Orde Lama (Orla) ditumbangkan oleh rejim Orde Baru (Orba) pada tahun 1965. Keributan yang menyoroti arajang dan pelaksanaan upacara mappalili terjadi di Segeri. Arajang hampir diganyang oleh salah satu ormas pemuda yang berkuasa ketika itu. Para Bissu dan mereka yang percaya akan kesaktian arajang menjadi tertuduh penganut komunis atau anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Mereka dianggap tidak beragama, melakukan perbuatan siriq, dianggap menganut ajaran anisme. Barang siapa masih menganggap arajang sebagai benda kramat berarti menduakan Tuhan. Di antara mereka yang tertangkap harus memilih antara mati di bunuh atau memilih masuk agama Islam serta menjadi manusia normal (pria). Muncul doktrin dalam masyarakat, bahwa bila melihat Bissu atau Wandu maka konon mereka yang melihatnya akan sial tidak mendapatkan rejeki selama 40 hari – 40 malam. Demikian pula seluruh amal baik yang diperbuatnya selama 40 hari tersebut tidak diterima pahalanya oleh Tuhan YME. Karena itu, jika melihat Bissu atau Wandu maka dia harus diusir jauh-jauh. Banyak di antara sanro dan Bissu yang sebelumnya sangat dihormati oleh masyarakat, kini menjadi sasaran lemparan dan olok-olokanbocah di jalanan.

Gerakan pemurnian ajaran Islam tersebut mereka sebut “Operasi Toba” (Operasi Taubat) yang gencar-gencarnya terjadi pada tahun 1966. Sejak itu, upacara Mappalili mengalami kemunduran, upacara-upacara Bissu tidak lagi diselenggarakan secara besar-besaran. Para Bissu bersembunyi dari ancaman maut yang memburunya. Masyarakat tidak lagi peduli akan nasib mereka, karena sebagian dari mereka memang mendukung gerakan “Operasi Toba” tersebut. Sebagian masyarakat yang bersimpati kepada para Bissu, hanya tinggal diam tanpa bisa berbuat apa-apa. Namun ketika masyarakat menuai padinya, ternyata hasilnya memang kurang memuaskan sehingga beberapa masyarakat beranggapan hal tersebut terjadi karena tidak melakukan upacara Mappalili . Dengan kesadaran itulah beberapa di antara mereka menyembunyikan Bissu yang tersisa agar tidak di bunuh dan agar upacara mappalili dapat dilaksanakan lagi. Bissu-bissu yang selamat itulah yang masih ada sekarang ini. Kini jumlah mereka yang tersisa di seluruh wilayah adat Sulawesi Selatan tidak lebih dari empatpuluh orang saja. Padahal untuk melakukan sebuah upacara Mappalili yang besar, jumlah Bissu minimal harus berjumlah empatpuluh orang (Bissu PattappuloE) dalam sebuah wilayah adat. Sekarang Puang Matoa sudah memakai kopiah dan kerudung. Di antaranya sudah ada yang telah menunaikan ibadah haji ke Mekkah, bahkan dalam lagu bissu-nya yang didapati di dalam naskah tua, sudah ada yang mencantumkan nama Allah, malaikat, dan nabi. Pada umumnya bissu asli di Sulawesi Selatan yang jumlahnya saat ini diduga tinggal empat puluh-an itu secara statistik kependudukan menganut agama Islam


arranged by: Adhy Laskar La Galigo

Bissu dari Bone

Bissu dari Bone

Tentang Bissu
Sepertinya hanya di budaya Bugis, dikenal lima (5) jenis gender. Menurut penelitian anthropolog Australia, Sharyn Graham dalam research reportnya; Sex, Gender and Priests in South Sulawesi, Indonesia, IIASNewsletter|#29| November 2002 27 , budaya Bugis mengenal empat jenis gender dan satu para-gender; laki-laki (oroane), perempuan (makunrai), perempuan yang berpenampilan seperti layaknya laki-laki ( calalai), laki-laki yang berpenampilan seperti layaknya perempuan (calabai) dan para-gender bissu (Lihat juga Manusia Bugis, C Pelras, hal 191). Jenis yang terakhir ini lebih banyak disalah artikan dan dianggap identik dengan jenis calabai, walau secara peran dan kedudukannya dalam budaya Bugis tidak demikian. Juga, tidak sedikit yang mempertautkan keunikan para-gender Bissu ini dengan kepercayaan lokal yang disebut Tolotang, hal yang mana dibantah secara nyata oleh komunitas Amparita Sidrap yang menjadi representasi penganut Tolotang dalam suku Bugis.


Kehadiran dan Peranannya

Gambaran pergeseran struktur nilai dalam kebudayaan Bugis selayaknya bisa kita sematkan pada salah satu realitas budaya bugis yang mulai terpinggirkan; Bissu Peran Bissu di awal pembentukan masyarakat Bugis sangatlah kuat. Keberadaan Bissu dalam sejarah manusia Bugis dianggap sezaman dengan kelahiran suku Bugis itu sendiri. Ketika Batara Guru sebagai cikal bakal manusia Bugis dalam sure’La Galigo, turun ke bumi dari dunia atas ( botinglangik) dan bertemu dengan permaisurinya We Nyili Timo yang berasal dari dunia bawah (borikliung), bersamaan dengan itu turun pula seorang Bissu pertama bernama Lae-lae sebagai penyempurna kehadiran leluhur orang Bugis tersebut. Menurut tutur lisan Hajji Baco’, seorang Bissu , Batara Guru yang ditugasi oleh Dewata mengatur bumi rupanya tidak punya kemampuan management yang handal, karenanya diperlukan bissu dari botinglangik untuk mengatur segala sesuatu mengenai kehidupan. Ketika Bissu ini turun ke bumi, maka terciptalah pranata-pranata masyarakat Bugis melalui daya kreasi mereka, menciptakan bahasa, budaya, adat istiadat dan semua hal yang diperlukan untuk menjalankan kehidupan di bumi.

Melalui perantara bissu inilah, para manusia biasa dapat berkomunikasi dengan para
dewata yang bersemayam di langit. Bissu adalah pendeta agama Bugis kuno pra-Islam. Bissu dianggap menampung dua elemen gender manusia, lelaki dan perempuan ( hermaphroditic beings who embody female and male elements), juga mampu mengalami dua alam; alam makhluk dan alam roh (Spirit). Ketua para bissu adalah seorang yang bergelar Puang Matowa atau Puang Towa. Secara biologis, sekarang, bissu kebanyakan diperankan oleh laki-laki yang memiliki sifat-sifat perempuan (wadam) walau ada juga yang asli perempuan, yang biasanya dari kalangan bangsawan tinggi, walau tidak mudah membedakan mana bissu yang laki-laki dan mana bissu yang perempuan. Dalam kesehariannya, bissu berpenampilan layaknya perempuan dengan pakaian dan tata rias feminim, namun juga tetap membawa atribut maskulin, dengan membawa badik misalnya. Dalam pengertian bahasa, bissu berasal dari kata bugis; bessi, yang bermakna bersih. Mereka disebut Bissu karena tidak berdarah, suci (tidak kotor), dan tidak haid. Ada juga yang menyatakan bahwa kata Bissu berasal dari kata Bhiksu atau Pendeta Buddha, sebagaimana diungkapkan oleh C Pelras dalam Manusia Bugis, hal 68, sebagai salah satu bentuk pengaruh bahasa Sansekerta dalam bahasa Bugis. Tentang agama Buddha sendiri, beberapa sanak-saudara saya yang tinggal di Sengkang mengaku masih menganut agama Buddha ini, yang dikatakan sebagai agama mula-mula orang Bugis. Mereka masih melakukan ritual keagamaan tersendiri, walau saya belum melakukan perbandingan dengan ritual agama Buddha yang dilakukan oleh umumnya masyarakat Buddha di Indonesia. Juga ada bukti sejarah yang memperkuat fenomena ini, misalnya penemuan Arca Buddha bercorak Amarawati di Sempaga di pantai Sulawesi Selatan yang berasal dari abad II Masehi. Ditengarai bahwa para pendeta Buddha, Biksu ini ‘menumpang’ kapal-kapal dagang India menuju perairan Nusantara. Dalam struktur budaya bugis, peran Bissu tergolong istimewa karena dalam kehidupan sehari-hari dianggap sebagai satu-satunya operator komunikasi antara manusia dan dewa melalui upacara ritual tradisionalnya dengan menggunakan bahasa dewa/langit ( basa Torilangi), karenanya Bissu juga berperan sebagai penjaga tradisi tutur lisan sastra Bugis Kuno sure’ La Galigo. Apabila sure’ ini hendak dibacakan, maka sebelum dikeluarkan dari tempat penyimpanannya, orang menabuh gendang dengan irama tertentu dan membakar kemenyan. Setelah tabuhan gendang berhenti, tampillah Bissu mengucapkan pujaan dan meminta ampunan kepada dewa- dewa yang namanya akan disebut dalam pembacaan sure’ itu. Bissu juga berperan mengatur semua pelaksanaan upacara tradisional, seperti upacara kehamilan, kelahiran, perkawinan ( indo’ botting), kematian, pelepasan nazar, persembahan, tolak bala, dan lain-lain. Sakti?

Dari surek La Galigo sendiri sebagai referensi utama sejarah purba suku Bugis, membuktikan bahwa justru kehadiran Bissu dianggap sebagai pengiring lestarinya tradisi keilahian/religiusitas nenek moyang. Di masa lalu berdasarkan sastra klasik Bugis epos La Galigo, sejak zaman Sawerigading, peran Bissu sangat sentral, bahkan dikatakan sebagai mahluk suci yang memberi stimulus ‘perahu cinta’ bagi Sawerigading dalam upayanya mencari pasangan jiwanya; We Cudai. Di tengah kegundahan Sawerigading yang walau sakti mandraguna tapi tak mampu menebang satu pohon pun untuk membuat kapal raksasa Wellerrengge, Bissu We Sawwammegga tampil dengan kekuatan sucinya yang diperoleh karena ambivalensinya; lelaki sekaligus perempuan, manusia sekaligus Dewa (Sharyn Graham, 2002).

Kisah kesaktian Bissu ini dapat juga kita temukan dalam kisah Arung Palakka ketika pada tahun 1667 melakukan penyerbuan bersama tentara Soppeng terhadap Lamatti, sebuah distrik di Bone Selatan, sebanyak seratus Bissu Lamatti tampil
dengan senjata walida (pemukul tenun) sambil mendendangkan memmang
(nyanyian). Anehnya, tak satupun senjata prajurit Bone dan Soppeng yang mampu
melukai para bissu sakti tersebut (LY Andaya, 2006, hal 106).
Dalam ritual yang masih bisa ditemui sampai sekarang, tradisi maggiri’ merupakan
salah satu pameran kesaktian Bissu. Tradisi menusuk diri dengan badik ini
dimaksudkan untuk menguji apakah roh leluhur/dewata yang sakti sudah merasuk
ke dalam diri bissu dalam sebuah upacara, sehingga apabila sang Bissu kebal dari
tusukan badik itu, ia dan roh yang merasukinya dipercaya dapat memberikan berkat
kepada yang meminta nya. Namun, apabila badik tersebut menembus dan melukai
sang Bissu, maka yang merasukinya adalah roh lemah atau bahkan tidak ada roh
leluhur sama sekali yang menghinggapi (Sharyn Graham).


Menjadi Bissu
Menjadi Bissu dipercaya merupakan anugerah dari dewata. Tidak semua orang,
bahkan jenis calabai, bisa menjadi bissu atas kehendak sendiri. Walaupun
sebahagian besar Bissu pada mulanya memiliki kecenderungan sebagai calabai.
Metamorfosis menjadi seorang Bissu biasanya dimulai sejak kanak-kanak, ketika
seorang anak mengidap ambiguitas orientasi seksual dan di saat yang sama
menampakkan ‘keterkaitan’ dengan dunia gaib. Anak-anak dengan keunikan ganda
ini kemudian akan dipersiapkan menjadi bissu. Untuk menjadi bissu diperlukan
banyak persyaratan untuk membuktikan bahwa dia menerima ‘berkat ‘itu
diantaranya berbaring dalam sebuah rakit bambu di tengah danau selama tiga hari
tiga malam tanpa makan, minum dan bergerak. Jika berhasil, maka dia kemudian
akan ditahbiskan menjadi Bissu sejati (Sharyn Graham).
Konflik dengan Islam?


Namun di saat yang bersamaan, karena proses konstruksi politik dan agama, Bissu
dianggap sebagai satu celah yang tercela dalam masyarakat Bugis modern yang
Islami karena dianggap menentang sunnatullah yang hanya mengenal jenis gender
laki-laki dan perempuan, selain peran sinkretisme yang dibawanya. Bahkan salah
satu doktrin yang memojokkan status mereka adalah adanya pemeo bahwa bila
menyentuh Bissu atau calabai maka konon akan membawa sial selama 40 hari – 40
malam. Ironis! Menjadi bissu tidak lagi dianggap dapat menaikkan derajat sosial
sebagaimana yang berlaku di masa lampau, malah mendatangkan petaka
keterasingan dalam masyarakat (agamis) Bugis modern.


Dalam beberapa diskursus, eksistensi Bissu cenderung fenomenal mengingat
keberadaannya yang kontroversial dalam masyarakat Bugis modern yang Islami.
Karena keberadaannya yang ambivalen, bissu dianggap tidak menerima sunnatullah,
karena secara fisik mereka adalah laki-laki tapi berpenampilan seperti perempuan (
tranvestities). Bissu juga dianggap menyimpang dari agama karena
kecenderungannya menganggap arajang dan mustika arajang memiliki kekuatan
gaib dari leluhur (dinamisme). Padahal, menurut para bissu itu, mereka justru
melakukan pemujaan terhadap Tuhan walau dengan tata cara ritual yang mereka
yakini. Dan juga, mereka tidak menolak sunnatullah, melainkan menerima dan
menjalankan sunnatullah.


Di tahun 1950-an saat pecah pemberontakan DI/TII Kahar Muzakar, Bissu

merupakan salah satu pihak yang paling menderita. Kahar Muzakkar menganggap

kegiatan para Bissu ini adalah menyembah berhala, tidak sesuai dengan ajaran
Islam dan membangkitkan feodalisme. Karena itu kegiatan, alat-alat upacara, serta
para pelakunya diberantas. Ratusan perlengkapan upacara dibakar atau di
tenggelamkan ke laut. Banyak sanro (dukun) dan Bissu di bunuh atau dipaksa
menjadi pria yang harus bekerja keras.
Penderitaan para Sanro dan Bissu masih berlanjut ketika Orde Lama (Orla)
ditumbangkan oleh rejim Orde Baru (Orba) pada tahun 1965. Keributan yang
menyoroti arajang dan pelaksanaan upacara mappalili terjadi di Segeri. Arajang
hampir diganyang oleh salah satu ormas pemuda yang berkuasa ketika itu. Para
Bissu dan mereka yang percaya akan kesaktian arajang menjadi tertuduh penganut
komunis atau anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Mereka dianggap tidak
beragama, melakukan perbuatan siriq, dianggap menganut ajaran anisme. Barang
siapa masih menganggap arajang sebagai benda kramat berarti menduakan Tuhan.
Di antara mereka yang tertangkap harus memilih antara mati di bunuh atau memilih
masuk agama Islam serta menjadi manusia normal (pria). Muncul doktrin dalam
masyarakat, bahwa bila melihat Bissu atau Wandu maka konon mereka yang
melihatnya akan sial tidak mendapatkan rejeki selama 40 hari – 40 malam.
Demikian pula seluruh amal baik yang diperbuatnya selama 40 hari tersebut tidak
diterima pahalanya oleh Tuhan YME. Karena itu, jika melihat Bissu atau Wandu maka
dia harus diusir jauh-jauh. Banyak di antara sanro dan Bissu yang sebelumnya
sangat dihormati oleh masyarakat, kini menjadi sasaran lemparan dan olok-olokan
bocah di jalanan.
Gerakan pemurnian ajaran Islam tersebut mereka sebut “Operasi Toba” (Operasi
Taubat) yang gencar-gencarnya terjadi pada tahun 1966. Sejak itu, upacara
Mappalili mengalami kemunduran, upacara-upacara Bissu tidak lagi diselenggarakan
secara besar-besaran. Para Bissu bersembunyi dari ancaman maut yang
memburunya. Masyarakat tidak lagi peduli akan nasib mereka, karena sebagian dari
mereka memang mendukung gerakan “Operasi Toba” tersebut. Sebagian
masyarakat yang bersimpati kepada para Bissu, hanya tinggal diam tanpa bisa
berbuat apa-apa. Namun ketika masyarakat menuai padinya, ternyata hasilnya
memang kurang memuaskan sehingga beberapa masyarakat beranggapan hal
tersebut terjadi karena tidak melakukan upacara Mappalili . Dengan kesadaran itulah
beberapa di antara mereka menyembunyikan Bissu yang tersisa agar tidak di bunuh
dan agar upacara mappalili dapat dilaksanakan lagi. Bissu-bissu yang selamat itulah
yang masih ada sekarang ini. Kini jumlah mereka yang tersisa di seluruh wilayah
adat Sulawesi Selatan tidak lebih dari empatpuluh orang saja. Padahal untuk
melakukan sebuah upacara Mappalili yang besar, jumlah Bissu minimal harus
berjumlah empatpuluh orang (Bissu PattappuloE) dalam sebuah wilayah adat.
Sekarang Puang Matoa sudah memakai kopiah dan kerudung. Di antaranya sudah
ada yang telah menunaikan ibadah haji ke Mekkah, bahkan dalam lagu bissu-nya
yang didapati di dalam naskah tua, sudah ada yang mencantumkan nama Allah,
malaikat, dan nabi. Pada umumnya bissu asli di Sulawesi Selatan yang jumlahnya
saat ini diduga tinggal empat puluh-an itu secara statistik kependudukan menganut
agama Islam

Senin, 03 Mei 2010

Pergerakan Islam dalam nuansa holistic


"Islam adalah agama yang merasuk kedalam jiwa setiap manusia (fitrah). Islam yang dikenal dengan Rahmatan lil alamin merupakan petunjuk bagi yang memahami esensi dari petunjuk itu"

Dua penggambaran model pergerakan Islam di Indonesia yang dianalisis Miichi (fenomena Islamic Left dan Partai Keadilan Sejahtera) menarik untuk didiskusikan. Meskipun sayang sekali keseluruhan isi bukunya masih berbahasa Jepang sehingga penulis cukup kesulitan memahami keseluruhannya. Pada akhir analisisnya Miichi mengemukakan bahwa Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sulit dipertimbangkan sebagai partai radikal sebab melihat metode-metode yang dilakukannya menggunakan metode-metode moderat. Dalam konteks keterbatasan analisis, Miichi masih menyisahkan lobang-lobang untuk bisa memahami secara menyeluruh tentang Pergerakan Islam Kontemporer di Indonesia. Termasuk diakui Miichi saat diskusi dengan penulis atas luputnya perhatian Miichi terhadap fenomena HMI MPO yang sejumlah alumninya juga aktif di PKS. Miichi kemudian menegaskan dalam bincang-bincang usai penulis menjadi panelis bedah bukunya yang diselenggrakan PIP PKS Jepang beberapa waktu lalu bahwa dirinya tertarik untuk meneliti HMI MPO.
Pada akhirnya Miichi kemudian meyakini bahwa tidaklah tepat jika melihat Pergerakan Islam Kontemporer di Indoneisa hanya dilihat secara dikotomis antara Islam Radikal dengan Islam Moderat. Sebab memang Pergerakan Islam di Indonesia spektrumnya amat beragam dan ini potensi besar bagi bangkitnya model pergerakan Islam yang makin matang dan menarik di Indonesia.

Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa pergerakan Islam di era modern ini sungguh belum sepenuhnya terorganisir secara holistic. Hadirnya paradigma yang masih masuk ke dalam kategori "Fallacy Of dramatic instance" menurut kang Jalaluddin Rakmat masih membelenggu dalam pandangan sebagian individu yang terangkul dalam berbagai lembaga dan mazhab. pandangan seperti ini sungguh belum mampu mengantar pergerakan Islam ke dalam tataran wahana Ilmia dan Holistic.

memang tidak bisa dipungkiri bahwa perbedaan adalah hal yang essensial, namun objektivitas dari pandangan kita haruslah sedikit menjadi perhatian yang penting dalam mewujudkan Islam yang Holistic. karena "Islam sebagai Rahmatan lil 'alamin" adalah landasan penting yang menjadi dasar asumsi tersebut. sekiranya jika islam belum bisa diholistickan maka panutan plural merupakan dasar awal kita dalam meramu persepsi tentang gerakan islam. dari situlah kita akan mendapati nuansa islam seperti apa selanjutnya. baik dari segi politic, sosial, budaya, economi, dan ilmu pengetahuan.

demikian sedikit pengantar tentang holistic islam, hasil pengkajian kami akan menjadi inti dari materi ini.
((adhi-12 january))

kediri, 03 mei 2010









SEANTERO ILMU

SEANTERO ILMU