adi Lagaligo
Neo-Kantianisme
(Sebuah Pergumulan Filsafat Agama Abad 20)
(Sebuah Pergumulan Filsafat Agama Abad 20)
A. Sebuah Resume
Neo-Kantianisme adalah paham filosofis yang mengalir dari pemikiran Immanuel Kant. Aliran ini lahir sebagai tanggapan atas ketidakmampuan paham Idealisme yang berusaha menanggapi tantangan ilmu empiris dan positivisme dalam bidang agama. Ketidakmampuan ini dikarenakan argumen-argumen idealisme tetap berada dalam tataran teoritis. Dengan kata lain, argumen atau pemikiran mereka sulit untuk diterapkan dalam tataran praktis. Padahal di lain pihak, baik ilmu empiris dan positivisme menyatakan apa yang benar adalah apa yang dapat dibuktikan melalui dan dalam pengalaman. Agama memang berurusan dengan apa yang super-sensibilis, tapi sekaligus agama juga harus dapat memperlihatkannya dalam kehidupan konkret, praktis, dan aktual. Inilah yang kemudian hendak diusahakan oleh para filsuf Neo-Kantianisme. Akan tetapi, aliran ini tidak hendak menekankan peranan akal budi teoritis dan sintesenya dalam pemikiran religius, melainkan mencari interpretasi baru terhadap agama dalam hubungan dengan akal budi praktis, hidup moral dan kebangkitan zaman empiris.
Ada beberapa aliran atau usaha yang mencari interpretasi baru atas agama berdasar pada pemikiran Kant, yakni pertama, Aliran atau Sekolah Marburg yang menekankan tema logika, epistemologi dan metodologi. Kedua, Sekolah Baratdaya Jerman yang memfokuskan diri pada persoalan mengenai nilai. Ketiga, Hans Vaihinger yang mempersoalkan fiksi dan hipotesa dalam rumusan-rumusan agama. Dan terakhir, Sekolah Teologi Ritschlian yang mengetengahkan revelasi dan kesempurnaan moral Yesus sambil menolak intelektualisasi yang berlebihan terhadap agama serta menjelaskan pentingnya kekuatan moral dalam kehidupan umat beriman.
Dari Aliran atau Sekolah Marburg, ada 3 tokoh yang mewakili yakni Hermann Cohen, Paul Natorp dan Ernst Cassirer. Menurut Cohen, Allah itu unik, I am who I am. Keunikan ini berarti bahwa adanya Allah tidak dapat dibandingkan dengan adanya dunia. Karena itu, Allah tidak mewahyukan diriNya dalam sesuatu melainkan melalui hubungannya dengan sesuatu terutama hubunganNya dengan manusia. Apa yang diwahyukan? Yang diwahyukan Allah adalah akibat dari adaNya, kehendak, norma tindakan, cinta dan keadilan. Revelasi inilah yang menciptakan akal budi. Tapi, terciptanya akal budi hanya dapat terjadi dalam komunitas. Mengapa? Menurut Cohen, setiap individu selalu terikat dalam komunitas atau bangsa. Dengan menyadari bahwa setiap pribadi hendak mewujudkan kebaikan dalam perjumpaan dengan sesamanya, gagasan Allah karena itu dapat ditemukan dalam poin ini. Tapi, gagasan Allah di sini tetaplah sebuah ide yang menjadi penjamin ideal kemanusiaan dan pemberi arah. Pemikiran ini kemudian ditegaskan oleh Paul Natorp dengan mengatakan agama haruslah menjadi agama yang tanpa Allah. Gagasan dasar Natorp adalah bahwa ia meradikalkan pemikiran mengenai revelasi Allah, yakni Allah tidak mewahyukan Diri dalam sesuatu, tapi melalui hubunganNya dengan sesuatu. Karena itu, ia lantas menyatakan perasaan moral-religius adalah pusat kesadaran manusia. Perasaan inilah yang menjiwai dan menyemangati pencarian pengetahuan.
Berbeda dengan kedua pemikir di atas, Cassirer menyatakan agama merupakan bagian dari simbol universalitas. Titik tolaknya adalah bahwa agama pada dasarnya tidak pernah terlepas dari kebudayaan. Karena itu, ia berbicara juga mengenai mitos. Mitos bukanlah sesuatu yang lain atau terlepas dari agama. Mitos, bagi Cassirer, adalah agama potensial. Menurutnya, dalam mitos sudah ditemukan gagasan kesatuan yang menyeluruh. Kesatuan ini tidak terletak atau terpusat dalam pikiran, melainkan perasaan. Dalam perkembangan agama selanjutnya, gagasan perasaan yang menjadi pusat kesatuan ini ditemukan dalam karakter personal yang ilahi dan aspek moralnya. Atas dasar inilah, ia menyatakan manusia bukan semata animale rationale, tapi juga animale simbolicum. Bagi Cassirer, segala yang ada di dunia ini tidak pernah mampu mencerminkan realitas sepenuh-penuhnya. Walaupun demikian, semuanya memberi sumbangan bagi usaha manusia dalam mengkonstruksi yang ideal atau dunia simbolik yang merupakan kebudayaan manusia.
Sekolah Baratdaya Jerman diwakili oleh satu tokoh yakni Wilhelm Windelband. Menurutnya, manusia bukan semata ada yang mengetahui, tapi juga sebagai ada yang menghendaki dan bertindak. Hal ini dikatakannya berdasar pada ketakterpisahan pengetahuan dan nilai dalam kehidupan. Dalam kehidupan, manusia tidak pernah terlepas dari apa yang disebut dengan putusan nilai. Nilai yang dimaksud Wilhelm adalah nilai logika yang berkaitan dengan kebenaran, nilai etika yang berkaitan dengan kebaikan dan nilai estetika yang berkaitan dengan keindahan. Poin penting dari penjelasan ini adalah bahwa sebuah nilai selalu berada dalam kaitan dengan kesadaran yang menilai. Pada poin inilah dapat dibicarakan soal agama. Nilai agama, yakni Yang Kudus karena itu hanya dapat dipahami dalam kaitan dengan nilai-nilai ini. Bagaimana Wilhelm memikirkan nilai Yang Kudus ini? Gagasan dasarnya adalah bahwa kesadaran manusia selalu tertarik pada penilaian yang lebih tinggi. Ini berarti kesadaran manusia akan Allah (yang kudus) senyata juga dengan pengalamannya akan nilai logika, etika dan estetika dalam dunia konkret-aktual. Tapi, ini tidak berarti pengakuan akan eksistensi Allah. Allah bagi Wilhelm tetap hanya ide yang menjamin keterarahan perbuatan manusia.
Pemikiran Vaihinger mengenai agama dapat disimak dari analisanya mengenai fiksi dan hipotesa. Bagi Vaihinger, fiksi adalah kekeliruan konsep yang dilakukan secara sadar dan tak pernah dapat diverifikasi. Sementara hipotesa adalah konsep dan keputusan yang mungkin dan harus diverifikasi melalui pengalaman. Hipotesa inilah yang digunakan untuk mencapai tujuan pikiran. Hipotesa menjadi ‘seolah-olah’ kepastian itu sendiri sebagaimana terdapat dalam realitas. Dalam agama, ide-ide dasar dilihat sebagai fiksi, sementara wujud perintah dan kehendak Allah dalam dogma dan ajaran agama dilihat sebagai hipotesa. Atas penjelasan Vaihinger ini, ide-ide mendasar agama, termasuk Tuhan, imortalitas dan tatanan dunia moral semuanya dipahami sebagai fiksi-fiksi praktis. Secara logis, gagasan dasar hidup sehari-hari juga adalah fiksi. Dalam dirinya, fiksi sesungguhnya bertentangan dengan realitas. Akan tetapi, secara prakteknya, mereka memiliki nilai yang luar biasa besar dalam kehidupan manusia khususnya dalam penghayatan keagamaan.
Dari Sekolah Teologi Ritschlian, ada 3 tokoh yang mewakili. Pertama, Albercht Ritschl yang menyatakan esensi agama Kristiani terletak dalam kesempurnaan moral Yesus. Sebagaimana Yesus bersatu dengan Allah begitu pulalah seharusnya individu dan komunitas kaum beriman. Persatuan ini menggambarkan kesatuan ideal tertinggi antara moralitas dan agama. Kedua, Wilhelm Herrmann yang mengetengahkan tema hidup moral Yesus. Menurutnya, perjuangan umat Kristen di dunia ini dituntun oleh pribadi Kristus Yesus. Dasar pikirannya adalah manusia dari kodratnya sudah memiliki hukum kewajiban. Tapi hukum kewajiban untuk melaksanakan kebaikan hanya dapat dilakukan dalam kebebasan moral dan kebebasan demikian terletak dalam kehidupan moral Yesus yang bersatu dengan Allah. Dan ketiga, Adolf von Harnack yang menyatakan pengalaman yang hidup akan Allah tidak ditemukan dalam rumusan dogmatis sebagai akibat pengaruh filsafat Yunani. Pengalaman ini hanya ditemukan dalam penghayan hidup Yesus serta pengaruhnya bagi manusia lainnya. Pemikiran dasar Harnack adalah sebagaimana Allah hidup dalam diri Yesus, begitu jugalah seharusnya umat beriman memahami kehadiran Allah dalam diri mereka. Allah menjadi pedoman dan prinsip kehidupan mereka dalam kehidupan aktual.
Neo-Kantianisme adalah paham filosofis yang mengalir dari pemikiran Immanuel Kant. Aliran ini lahir sebagai tanggapan atas ketidakmampuan paham Idealisme yang berusaha menanggapi tantangan ilmu empiris dan positivisme dalam bidang agama. Ketidakmampuan ini dikarenakan argumen-argumen idealisme tetap berada dalam tataran teoritis. Dengan kata lain, argumen atau pemikiran mereka sulit untuk diterapkan dalam tataran praktis. Padahal di lain pihak, baik ilmu empiris dan positivisme menyatakan apa yang benar adalah apa yang dapat dibuktikan melalui dan dalam pengalaman. Agama memang berurusan dengan apa yang super-sensibilis, tapi sekaligus agama juga harus dapat memperlihatkannya dalam kehidupan konkret, praktis, dan aktual. Inilah yang kemudian hendak diusahakan oleh para filsuf Neo-Kantianisme. Akan tetapi, aliran ini tidak hendak menekankan peranan akal budi teoritis dan sintesenya dalam pemikiran religius, melainkan mencari interpretasi baru terhadap agama dalam hubungan dengan akal budi praktis, hidup moral dan kebangkitan zaman empiris.
Ada beberapa aliran atau usaha yang mencari interpretasi baru atas agama berdasar pada pemikiran Kant, yakni pertama, Aliran atau Sekolah Marburg yang menekankan tema logika, epistemologi dan metodologi. Kedua, Sekolah Baratdaya Jerman yang memfokuskan diri pada persoalan mengenai nilai. Ketiga, Hans Vaihinger yang mempersoalkan fiksi dan hipotesa dalam rumusan-rumusan agama. Dan terakhir, Sekolah Teologi Ritschlian yang mengetengahkan revelasi dan kesempurnaan moral Yesus sambil menolak intelektualisasi yang berlebihan terhadap agama serta menjelaskan pentingnya kekuatan moral dalam kehidupan umat beriman.
Dari Aliran atau Sekolah Marburg, ada 3 tokoh yang mewakili yakni Hermann Cohen, Paul Natorp dan Ernst Cassirer. Menurut Cohen, Allah itu unik, I am who I am. Keunikan ini berarti bahwa adanya Allah tidak dapat dibandingkan dengan adanya dunia. Karena itu, Allah tidak mewahyukan diriNya dalam sesuatu melainkan melalui hubungannya dengan sesuatu terutama hubunganNya dengan manusia. Apa yang diwahyukan? Yang diwahyukan Allah adalah akibat dari adaNya, kehendak, norma tindakan, cinta dan keadilan. Revelasi inilah yang menciptakan akal budi. Tapi, terciptanya akal budi hanya dapat terjadi dalam komunitas. Mengapa? Menurut Cohen, setiap individu selalu terikat dalam komunitas atau bangsa. Dengan menyadari bahwa setiap pribadi hendak mewujudkan kebaikan dalam perjumpaan dengan sesamanya, gagasan Allah karena itu dapat ditemukan dalam poin ini. Tapi, gagasan Allah di sini tetaplah sebuah ide yang menjadi penjamin ideal kemanusiaan dan pemberi arah. Pemikiran ini kemudian ditegaskan oleh Paul Natorp dengan mengatakan agama haruslah menjadi agama yang tanpa Allah. Gagasan dasar Natorp adalah bahwa ia meradikalkan pemikiran mengenai revelasi Allah, yakni Allah tidak mewahyukan Diri dalam sesuatu, tapi melalui hubunganNya dengan sesuatu. Karena itu, ia lantas menyatakan perasaan moral-religius adalah pusat kesadaran manusia. Perasaan inilah yang menjiwai dan menyemangati pencarian pengetahuan.
Berbeda dengan kedua pemikir di atas, Cassirer menyatakan agama merupakan bagian dari simbol universalitas. Titik tolaknya adalah bahwa agama pada dasarnya tidak pernah terlepas dari kebudayaan. Karena itu, ia berbicara juga mengenai mitos. Mitos bukanlah sesuatu yang lain atau terlepas dari agama. Mitos, bagi Cassirer, adalah agama potensial. Menurutnya, dalam mitos sudah ditemukan gagasan kesatuan yang menyeluruh. Kesatuan ini tidak terletak atau terpusat dalam pikiran, melainkan perasaan. Dalam perkembangan agama selanjutnya, gagasan perasaan yang menjadi pusat kesatuan ini ditemukan dalam karakter personal yang ilahi dan aspek moralnya. Atas dasar inilah, ia menyatakan manusia bukan semata animale rationale, tapi juga animale simbolicum. Bagi Cassirer, segala yang ada di dunia ini tidak pernah mampu mencerminkan realitas sepenuh-penuhnya. Walaupun demikian, semuanya memberi sumbangan bagi usaha manusia dalam mengkonstruksi yang ideal atau dunia simbolik yang merupakan kebudayaan manusia.
Sekolah Baratdaya Jerman diwakili oleh satu tokoh yakni Wilhelm Windelband. Menurutnya, manusia bukan semata ada yang mengetahui, tapi juga sebagai ada yang menghendaki dan bertindak. Hal ini dikatakannya berdasar pada ketakterpisahan pengetahuan dan nilai dalam kehidupan. Dalam kehidupan, manusia tidak pernah terlepas dari apa yang disebut dengan putusan nilai. Nilai yang dimaksud Wilhelm adalah nilai logika yang berkaitan dengan kebenaran, nilai etika yang berkaitan dengan kebaikan dan nilai estetika yang berkaitan dengan keindahan. Poin penting dari penjelasan ini adalah bahwa sebuah nilai selalu berada dalam kaitan dengan kesadaran yang menilai. Pada poin inilah dapat dibicarakan soal agama. Nilai agama, yakni Yang Kudus karena itu hanya dapat dipahami dalam kaitan dengan nilai-nilai ini. Bagaimana Wilhelm memikirkan nilai Yang Kudus ini? Gagasan dasarnya adalah bahwa kesadaran manusia selalu tertarik pada penilaian yang lebih tinggi. Ini berarti kesadaran manusia akan Allah (yang kudus) senyata juga dengan pengalamannya akan nilai logika, etika dan estetika dalam dunia konkret-aktual. Tapi, ini tidak berarti pengakuan akan eksistensi Allah. Allah bagi Wilhelm tetap hanya ide yang menjamin keterarahan perbuatan manusia.
Pemikiran Vaihinger mengenai agama dapat disimak dari analisanya mengenai fiksi dan hipotesa. Bagi Vaihinger, fiksi adalah kekeliruan konsep yang dilakukan secara sadar dan tak pernah dapat diverifikasi. Sementara hipotesa adalah konsep dan keputusan yang mungkin dan harus diverifikasi melalui pengalaman. Hipotesa inilah yang digunakan untuk mencapai tujuan pikiran. Hipotesa menjadi ‘seolah-olah’ kepastian itu sendiri sebagaimana terdapat dalam realitas. Dalam agama, ide-ide dasar dilihat sebagai fiksi, sementara wujud perintah dan kehendak Allah dalam dogma dan ajaran agama dilihat sebagai hipotesa. Atas penjelasan Vaihinger ini, ide-ide mendasar agama, termasuk Tuhan, imortalitas dan tatanan dunia moral semuanya dipahami sebagai fiksi-fiksi praktis. Secara logis, gagasan dasar hidup sehari-hari juga adalah fiksi. Dalam dirinya, fiksi sesungguhnya bertentangan dengan realitas. Akan tetapi, secara prakteknya, mereka memiliki nilai yang luar biasa besar dalam kehidupan manusia khususnya dalam penghayatan keagamaan.
Dari Sekolah Teologi Ritschlian, ada 3 tokoh yang mewakili. Pertama, Albercht Ritschl yang menyatakan esensi agama Kristiani terletak dalam kesempurnaan moral Yesus. Sebagaimana Yesus bersatu dengan Allah begitu pulalah seharusnya individu dan komunitas kaum beriman. Persatuan ini menggambarkan kesatuan ideal tertinggi antara moralitas dan agama. Kedua, Wilhelm Herrmann yang mengetengahkan tema hidup moral Yesus. Menurutnya, perjuangan umat Kristen di dunia ini dituntun oleh pribadi Kristus Yesus. Dasar pikirannya adalah manusia dari kodratnya sudah memiliki hukum kewajiban. Tapi hukum kewajiban untuk melaksanakan kebaikan hanya dapat dilakukan dalam kebebasan moral dan kebebasan demikian terletak dalam kehidupan moral Yesus yang bersatu dengan Allah. Dan ketiga, Adolf von Harnack yang menyatakan pengalaman yang hidup akan Allah tidak ditemukan dalam rumusan dogmatis sebagai akibat pengaruh filsafat Yunani. Pengalaman ini hanya ditemukan dalam penghayan hidup Yesus serta pengaruhnya bagi manusia lainnya. Pemikiran dasar Harnack adalah sebagaimana Allah hidup dalam diri Yesus, begitu jugalah seharusnya umat beriman memahami kehadiran Allah dalam diri mereka. Allah menjadi pedoman dan prinsip kehidupan mereka dalam kehidupan aktual.
B. Usaha teologis (berteologi) dari perspektif Neo-Kantianisme
Sebelum berteologi dari aliran ini, sebelumnya penulis berusaha melihat kembali pemikiran Kant mengenai Allah. Karena itu, pembahasan ini akan dibagi menjadi 2 bagian, yakni panorama pemikiran Kant mengenai Allah dan berteologi dari sudut pandang ini.
Sebelum berteologi dari aliran ini, sebelumnya penulis berusaha melihat kembali pemikiran Kant mengenai Allah. Karena itu, pembahasan ini akan dibagi menjadi 2 bagian, yakni panorama pemikiran Kant mengenai Allah dan berteologi dari sudut pandang ini.
Pemikiran Kant Mengenai Allah
Pemikiran Kant mengenai agama sesungguhnya berasal dari reaksi terhadap bukti ontologis tentang eksistensi Allah sebagaimana dijelaskan oleh Wolff dan Leibniz. Bagi Wolff dan Leibniz, eksistensi Allah dapat dibuktikan secara teoritis. Artinya, bahwa konsep ‘Allah ada’ sesungguhnya menunjukkan eksistensi atau keberadaan Allah. Pengertian atau konsep ‘ada’ di sini merujuk pada apa yang ada dalam ruang dan waktu. Dengan kata lain, ada dilihat sebagai predikat sebagaimana terdapat dalam objek-objek yang mendiami ruang dan waktu. Implikasinya, konsep bahwa ‘Allah ada’ menjadi konsep konstitutif bagi segala sesuatu yang lainnya. Konstitutif berarti Allah menjadi alasan atau penjelasan terakhir bagi apa yang terjadi dalam dunia dan bahkan menjadi dasar kausalitas terakhir bagi adanya dunia beserta isinya.
Kant menolak pemikiran demikian. Bagi Kant, eksistensi Allah tidak bisa ditarik dari konsep bahwa Allah ada. Konsep ini keliru. Mengapa? Karena ‘ada’ (eksistensi) itu bukanlah predikat sebagaimana dalam pengertian keluasan yang diperuntukkan bagi benda-benda objektif dalam ruang dan waktu. Untuk mengatakan sesuatu itu ada, tidaklah berarti mempredikasikan suatu hal di mana ketika hal tersebut (dalam hal ini pengertian ‘ada’) tidak ada, konsepnya pun menjadi tidak bermakna. Allah itu ada, tapi bahwa adaNya tidak dapat dibuktikan tidak dapat menjadi dasar pernyataan bahwa Allah lenyap, tidak ada, atau tidak bisa dipikirkan. Karena itu, Kant berusaha mencari jalan lain selain jalan bukti teoritis ini dengan mendisiplinkan kemampuan akal budi. Kemampuan budi manusia itu terbatas, maka tidak mungkin budi manusia melampaui apa yang bisa dijangkaunya. Pendisiplinan inilah yang disebut oleh Kant dengan kritik terhadap akal budi.
Ketika pendekatan terhadap eksistensi Allah melalui jalan teoritis tidak dapat dilakukan, maka jalan satu-satunya yang tersisa adalah apa yang Kant sebut jalan praktis. Praktis mengartikulasikan moral, yakni penggunaan budi manusia untuk menentukan baik-buruk dalam kehidupan konkret sehari-hari. Umumnya ini disebut dengan argumen moral. Karena itu, yang menjadi pertanyaan mendasar Kant adalah untuk apa manusia berbuat baik. Dan dipihak lain, bagi Kant, Allah memang tidak dapat dibuktikan keberadaanNya. Allah hanya diandaikan ada. Allah dilihat sebagai postulat yang berarti diandaikan benar demikian. Implikasinya, Allah lantas dipahami sebagai pemberi arah atau dalam bahasa Kant Allah menjadi prinsip regulatif yang memberi penjelasan kausalitas dalam tatanan ruang dan waktu di dunia ini. Agama dengan demikian berada di bawah penjelasan moral ini. Usaha Kant ini, dengan demikian, membalikkan cara berpikir metafisika sebelumnya dengan melepaskan dasar ontologis dari penjelasan metafisis mengenai Allah. Dengan demikian, Allah dalam pemikiran Kant berada dalam struktur kategoris akal budi.
Pemikiran Kant mengenai agama sesungguhnya berasal dari reaksi terhadap bukti ontologis tentang eksistensi Allah sebagaimana dijelaskan oleh Wolff dan Leibniz. Bagi Wolff dan Leibniz, eksistensi Allah dapat dibuktikan secara teoritis. Artinya, bahwa konsep ‘Allah ada’ sesungguhnya menunjukkan eksistensi atau keberadaan Allah. Pengertian atau konsep ‘ada’ di sini merujuk pada apa yang ada dalam ruang dan waktu. Dengan kata lain, ada dilihat sebagai predikat sebagaimana terdapat dalam objek-objek yang mendiami ruang dan waktu. Implikasinya, konsep bahwa ‘Allah ada’ menjadi konsep konstitutif bagi segala sesuatu yang lainnya. Konstitutif berarti Allah menjadi alasan atau penjelasan terakhir bagi apa yang terjadi dalam dunia dan bahkan menjadi dasar kausalitas terakhir bagi adanya dunia beserta isinya.
Kant menolak pemikiran demikian. Bagi Kant, eksistensi Allah tidak bisa ditarik dari konsep bahwa Allah ada. Konsep ini keliru. Mengapa? Karena ‘ada’ (eksistensi) itu bukanlah predikat sebagaimana dalam pengertian keluasan yang diperuntukkan bagi benda-benda objektif dalam ruang dan waktu. Untuk mengatakan sesuatu itu ada, tidaklah berarti mempredikasikan suatu hal di mana ketika hal tersebut (dalam hal ini pengertian ‘ada’) tidak ada, konsepnya pun menjadi tidak bermakna. Allah itu ada, tapi bahwa adaNya tidak dapat dibuktikan tidak dapat menjadi dasar pernyataan bahwa Allah lenyap, tidak ada, atau tidak bisa dipikirkan. Karena itu, Kant berusaha mencari jalan lain selain jalan bukti teoritis ini dengan mendisiplinkan kemampuan akal budi. Kemampuan budi manusia itu terbatas, maka tidak mungkin budi manusia melampaui apa yang bisa dijangkaunya. Pendisiplinan inilah yang disebut oleh Kant dengan kritik terhadap akal budi.
Ketika pendekatan terhadap eksistensi Allah melalui jalan teoritis tidak dapat dilakukan, maka jalan satu-satunya yang tersisa adalah apa yang Kant sebut jalan praktis. Praktis mengartikulasikan moral, yakni penggunaan budi manusia untuk menentukan baik-buruk dalam kehidupan konkret sehari-hari. Umumnya ini disebut dengan argumen moral. Karena itu, yang menjadi pertanyaan mendasar Kant adalah untuk apa manusia berbuat baik. Dan dipihak lain, bagi Kant, Allah memang tidak dapat dibuktikan keberadaanNya. Allah hanya diandaikan ada. Allah dilihat sebagai postulat yang berarti diandaikan benar demikian. Implikasinya, Allah lantas dipahami sebagai pemberi arah atau dalam bahasa Kant Allah menjadi prinsip regulatif yang memberi penjelasan kausalitas dalam tatanan ruang dan waktu di dunia ini. Agama dengan demikian berada di bawah penjelasan moral ini. Usaha Kant ini, dengan demikian, membalikkan cara berpikir metafisika sebelumnya dengan melepaskan dasar ontologis dari penjelasan metafisis mengenai Allah. Dengan demikian, Allah dalam pemikiran Kant berada dalam struktur kategoris akal budi.
Berteologi
Setelah melihat pemikiran Kant di atas dan secara tidak langsung bagaimana Kant memahami agama, pembahasan ini berusaha untuk berteologi dari sudut pandang pemikiran Kant tersebut dalam konteks Indonesia dewasa ini.
Sama seperti negara-negara lain, Indonesia pun mengalami tantangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi. Budaya teknologis seperti layar LCD sudah masuk ke dalam Gereja-gereja di kota besar, seminar atau pun kursus teologis yang bertujuan semakin memahami nilai dan pesan Yesus pun sudah banyak dilakukan, adanya fenomena gerakan karismatis yang ramai diikuti, dan lain sebagainya. Semuanya ini mengindikasikan pencarian manusia akan Allah. Mengapa Allah dicari? Barangkali mereka merasa bahwa Allah sudah hilang dari hidup mereka sehingga usaha apa pun dilakukan untuk menenangkan kembali perasaan hati yang gelisah. Tapi, apakah Allah benar-benar ada? Kalau ada, bagaimana merasakannya atau memikirkannya? Poin ini hendak menegaskan kembali perlunya fungsi kritik terhadap budi manusia. Namun, di pihak lain, budi manusia menuntut adanya penjelasan terakhir bagi hidupnya. Untuk apa? Supaya tiap perbuatan yang dilakukan dapat menghantar pada apa yang disebut dengan kebahagiaan. Tapi, setelah melihat gagasan Kant mengenai Allah dalam penjelasan di atas, berteologi dari perspektif Kant berarti bersoal jawab dengan perbuatan manusia yang berkaitan dengan keutamaan hidup moral dan secara langsung pula dengan poin kebahagiaan.
Agama Kristiani adalah agama cinta kasih. Dikatakan demikian karena arti menjadi manusia diletakkan pada dasar perbuatan (bdk. Mat 25: 31-46). Mengapa perbuatan? Karena perbuatan menunjukkan apa yang ada dalam diri manusia, yakni keyakinan. Terminologi religius menyebutnya dengan iman kepada Allah. Akan tetapi, keyakinan ini belum cukup memenuhi sebagai syarat keutamaan hidup moral. Mengapa? Lantaran keyakinan itu sendiri dapat disalahgunakan untuk tujuan buruk. Inilah yang kemudian terjadi pada gerakan-gerakan kekerasan atas nama agama. Keyakinan agama menjadi dasar penilaian realitas padahal di pihak lain agama itu sendiri adalah suatu realitas. Agama seolah-olah mengangkat dirinya menjadi tuhan dan karena itu tidak dapat salah. Inilah kritik paling tajam yang datang dari ilmu empiris dan positivisme. Lantas, apa yang menjadi kriteria perbuatan manusia ketika agama tidak lagi dapat diandalkan? Menurut Kant satu-satunya kriteria adalah kehendak baik. Dengan kata lain, kehendak baik merupakan prinsip tertinggi yang merupakan hukum moral bagi perbuatan manusia.
Dalam dirinya kehendak baik selalu mengarah kepada kebaikan. Tapi, kehendak sebagai kehendak belumlah dapat dinilai. Kehendak ini mesti diwujudkan dalam tataran praktis. Artinya, kehendak baik ini mesti tampil dalam bentuk-bentuk perbuatan. Tempat di mana perbuatan manusia itu tampil adalah dalam komunitas. Mengapa komunitas? Karena setiap pribadi yang berjumpa satu sama lain hendak atau berusaha menyadari dan mewujudkan kebaikan dan ini dapat dicapai dalam relasi yang bebas dengan orang lain. Dalam banyak hal, agama Kristiani dewasa ini memang berusaha untuk belajar dan menghayati bagaimana komunitas pertama di Yerusalem menjalankan dan menghayati pesan-pesan Yesus. Di lain pihak, komunitas pertama tersebut, selain para rasul, tidak mengalami Yesus secara fisik. Tapi, mereka menjalankan pesan-pesan itu secara bebas. Kebebasan di sini lantas menjadi poin penting untuk mengerti halnya relasi dalam hidup berkomunitas.
Poin kebebasan di atas memaksudkan bahwa perwujudan hukum moral hanya dapat dilaksanakan dalam kebebasan itu sendiri. Hal ini berkaitan dengan pemahaman bahwa pesan Yesus adalah pesan moral yang berlandaskan pada ajaran kasih. Dalam arti tertentu, manusia tidak mungkin bisa meletakkan kebebasan dalam ruang kosong. Kebebasan itu tampak dalam pilihan perbuatan manusia. Inilah yang membuat hukum moral bisa berlaku lantaran ada kebebasan. Selain itu, perbuatan hanya dapat dipahami dalam relasinya dengan sesama. Kehadiran sesama inilah yang kemudian menciptakan akal budi. Akal budi lantas menciptakan hukum yang mengatur dan yang memberi bentuk pada perbuatan manusia dalam relasi dengan sesamanya. Dengan melaksanakan hukum moral dalam batinnya, manusia lantas dapat mencapai kebahagiaan. Tapi, ini tidak berarti bahwa akibat perbuatan itulah yang menghasilkan dan memberi kebahagiaan. Justru sebaliknya, yakni melaksanakan kewajiban dalam batinnya itulah yang menjadikan seorang bahagia. Prinsip demikian mesti terdapat juga dalam diri orang lain. Moralitas di sini karena itu dapat dimengerti sebagai kesesuaian sikap dan perbuatan seseorang dengan norma atau hukum batiniahnya yang dilihat sebagai kewajibannya. Dengan kata lain, hukum batiniahnya adalah kewajiban manusia itu sendiri. Pemahaman ini lantas menghantar pada pemahaman selanjutnya bahwa manusia itu pada dasarnya bukan semata ada yang mengetahui, melainkan juga ada yang menghendaki dan bertindak. Manusia menghendaki karena ia menghendaki yang baik dan itu terwujud dalam dan melalui perbuatan atau tindakannya.
Tapi bagaimana manusia mengenal bahwa hukum batiniahnya itu baik adanya? Dalam pemahaman di atas gagasan Allah perlu dimengerti. Pada poin tersebut, Allah lantas menjadi penjamin bahwa kewajiban manusia itu sungguh-sungguh baik. Hal ini membawa implikasi yakni bahwa agama sesungguhnya merupakan pengakuan kewajiban-kewajiban manusia sebagai perintah ilahi. Dengan kata lain, agama diletakkan di bawah moralitas. Penulis melihat bahwa pengertian relasi moralitas dan agama yang demikian ini terwujud dalam apa yang disebut Komunitas Basis Gerejani. Struktur budi manusia lantas memungkinkan terciptanya kehidupan yang harmonis dan damai dalam komunitas. Penghayatan pesan moral Kristus yang dilakukan dalam kehidupan komunitas dapat menjadi acuan bahwa manusia selain terdorong oleh kewajibannya membantu sesama juga sekaligus merupakan tujuan bagi dirinya sendiri. Karena itu, dalam komunitas penghargaan akan martabat dan harkat manusia sebagai manusia terlihat dengan jelas. Komunitas menjadi penyalur rahmat dan anugerah Kristus. Relasi demikian menghumanisasikan manusia kembali sebab dasar dan tolak ukur ini bukan tentang ajaran-ajaran Gereja ataupun soal-soal mengenai Allah tetapi pribadi-pribadi manusia yang konkret, yang hidup dalam sejarah dunia ini. Jika setiap manusia dapat melakukannya, kebahagiaan manusia dapat tercapai dalam dunia ini.
Pemikiran mengenai keutamaan hidup moral memang telah dicetuskan oleh Gereja Indonesia dengan menyatakan perlunya habitus baru dalam menyikapi perkembangan dunia ini. Habitus baru itu menandaskan kembali perlunya sikap moral manusia terhadap sesamanya dan dunia. Ketika manusia diperhadapkan dengan tuntutan efektivitas waktu, hasil kerja, prosedur dan lain sebagainya, manusia pasti menghadapi aneka pilihan yang perlu dilakukan. Pilihan inilah yang menjadikan manusia itu dewasa. Dalam konteks agama Kristiani, pilihan ini tampak dalam iman. Namun, iman itu sendiri belum mencukupi sebagai dasar perbuatan moral. Dimensi sosial iman itulah yang kiranya perlu dikembangkan lebih lanjut dalam kemauan membantu sesama melalui komunitas. Penulis menyadari bahwa Komunitas Basis Kristiani itu sendiri hanyalah bentuk bagi usaha penghayatan iman. Untuk wujud konkret bagaimana iman itu dihayati dalam kehidupan konkret-aktual, hal tersebut perlu memperhatikan konteks situasi dan kondisi yang dihadapi oleh kaum beriman.
Setelah melihat pemikiran Kant di atas dan secara tidak langsung bagaimana Kant memahami agama, pembahasan ini berusaha untuk berteologi dari sudut pandang pemikiran Kant tersebut dalam konteks Indonesia dewasa ini.
Sama seperti negara-negara lain, Indonesia pun mengalami tantangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi. Budaya teknologis seperti layar LCD sudah masuk ke dalam Gereja-gereja di kota besar, seminar atau pun kursus teologis yang bertujuan semakin memahami nilai dan pesan Yesus pun sudah banyak dilakukan, adanya fenomena gerakan karismatis yang ramai diikuti, dan lain sebagainya. Semuanya ini mengindikasikan pencarian manusia akan Allah. Mengapa Allah dicari? Barangkali mereka merasa bahwa Allah sudah hilang dari hidup mereka sehingga usaha apa pun dilakukan untuk menenangkan kembali perasaan hati yang gelisah. Tapi, apakah Allah benar-benar ada? Kalau ada, bagaimana merasakannya atau memikirkannya? Poin ini hendak menegaskan kembali perlunya fungsi kritik terhadap budi manusia. Namun, di pihak lain, budi manusia menuntut adanya penjelasan terakhir bagi hidupnya. Untuk apa? Supaya tiap perbuatan yang dilakukan dapat menghantar pada apa yang disebut dengan kebahagiaan. Tapi, setelah melihat gagasan Kant mengenai Allah dalam penjelasan di atas, berteologi dari perspektif Kant berarti bersoal jawab dengan perbuatan manusia yang berkaitan dengan keutamaan hidup moral dan secara langsung pula dengan poin kebahagiaan.
Agama Kristiani adalah agama cinta kasih. Dikatakan demikian karena arti menjadi manusia diletakkan pada dasar perbuatan (bdk. Mat 25: 31-46). Mengapa perbuatan? Karena perbuatan menunjukkan apa yang ada dalam diri manusia, yakni keyakinan. Terminologi religius menyebutnya dengan iman kepada Allah. Akan tetapi, keyakinan ini belum cukup memenuhi sebagai syarat keutamaan hidup moral. Mengapa? Lantaran keyakinan itu sendiri dapat disalahgunakan untuk tujuan buruk. Inilah yang kemudian terjadi pada gerakan-gerakan kekerasan atas nama agama. Keyakinan agama menjadi dasar penilaian realitas padahal di pihak lain agama itu sendiri adalah suatu realitas. Agama seolah-olah mengangkat dirinya menjadi tuhan dan karena itu tidak dapat salah. Inilah kritik paling tajam yang datang dari ilmu empiris dan positivisme. Lantas, apa yang menjadi kriteria perbuatan manusia ketika agama tidak lagi dapat diandalkan? Menurut Kant satu-satunya kriteria adalah kehendak baik. Dengan kata lain, kehendak baik merupakan prinsip tertinggi yang merupakan hukum moral bagi perbuatan manusia.
Dalam dirinya kehendak baik selalu mengarah kepada kebaikan. Tapi, kehendak sebagai kehendak belumlah dapat dinilai. Kehendak ini mesti diwujudkan dalam tataran praktis. Artinya, kehendak baik ini mesti tampil dalam bentuk-bentuk perbuatan. Tempat di mana perbuatan manusia itu tampil adalah dalam komunitas. Mengapa komunitas? Karena setiap pribadi yang berjumpa satu sama lain hendak atau berusaha menyadari dan mewujudkan kebaikan dan ini dapat dicapai dalam relasi yang bebas dengan orang lain. Dalam banyak hal, agama Kristiani dewasa ini memang berusaha untuk belajar dan menghayati bagaimana komunitas pertama di Yerusalem menjalankan dan menghayati pesan-pesan Yesus. Di lain pihak, komunitas pertama tersebut, selain para rasul, tidak mengalami Yesus secara fisik. Tapi, mereka menjalankan pesan-pesan itu secara bebas. Kebebasan di sini lantas menjadi poin penting untuk mengerti halnya relasi dalam hidup berkomunitas.
Poin kebebasan di atas memaksudkan bahwa perwujudan hukum moral hanya dapat dilaksanakan dalam kebebasan itu sendiri. Hal ini berkaitan dengan pemahaman bahwa pesan Yesus adalah pesan moral yang berlandaskan pada ajaran kasih. Dalam arti tertentu, manusia tidak mungkin bisa meletakkan kebebasan dalam ruang kosong. Kebebasan itu tampak dalam pilihan perbuatan manusia. Inilah yang membuat hukum moral bisa berlaku lantaran ada kebebasan. Selain itu, perbuatan hanya dapat dipahami dalam relasinya dengan sesama. Kehadiran sesama inilah yang kemudian menciptakan akal budi. Akal budi lantas menciptakan hukum yang mengatur dan yang memberi bentuk pada perbuatan manusia dalam relasi dengan sesamanya. Dengan melaksanakan hukum moral dalam batinnya, manusia lantas dapat mencapai kebahagiaan. Tapi, ini tidak berarti bahwa akibat perbuatan itulah yang menghasilkan dan memberi kebahagiaan. Justru sebaliknya, yakni melaksanakan kewajiban dalam batinnya itulah yang menjadikan seorang bahagia. Prinsip demikian mesti terdapat juga dalam diri orang lain. Moralitas di sini karena itu dapat dimengerti sebagai kesesuaian sikap dan perbuatan seseorang dengan norma atau hukum batiniahnya yang dilihat sebagai kewajibannya. Dengan kata lain, hukum batiniahnya adalah kewajiban manusia itu sendiri. Pemahaman ini lantas menghantar pada pemahaman selanjutnya bahwa manusia itu pada dasarnya bukan semata ada yang mengetahui, melainkan juga ada yang menghendaki dan bertindak. Manusia menghendaki karena ia menghendaki yang baik dan itu terwujud dalam dan melalui perbuatan atau tindakannya.
Tapi bagaimana manusia mengenal bahwa hukum batiniahnya itu baik adanya? Dalam pemahaman di atas gagasan Allah perlu dimengerti. Pada poin tersebut, Allah lantas menjadi penjamin bahwa kewajiban manusia itu sungguh-sungguh baik. Hal ini membawa implikasi yakni bahwa agama sesungguhnya merupakan pengakuan kewajiban-kewajiban manusia sebagai perintah ilahi. Dengan kata lain, agama diletakkan di bawah moralitas. Penulis melihat bahwa pengertian relasi moralitas dan agama yang demikian ini terwujud dalam apa yang disebut Komunitas Basis Gerejani. Struktur budi manusia lantas memungkinkan terciptanya kehidupan yang harmonis dan damai dalam komunitas. Penghayatan pesan moral Kristus yang dilakukan dalam kehidupan komunitas dapat menjadi acuan bahwa manusia selain terdorong oleh kewajibannya membantu sesama juga sekaligus merupakan tujuan bagi dirinya sendiri. Karena itu, dalam komunitas penghargaan akan martabat dan harkat manusia sebagai manusia terlihat dengan jelas. Komunitas menjadi penyalur rahmat dan anugerah Kristus. Relasi demikian menghumanisasikan manusia kembali sebab dasar dan tolak ukur ini bukan tentang ajaran-ajaran Gereja ataupun soal-soal mengenai Allah tetapi pribadi-pribadi manusia yang konkret, yang hidup dalam sejarah dunia ini. Jika setiap manusia dapat melakukannya, kebahagiaan manusia dapat tercapai dalam dunia ini.
Pemikiran mengenai keutamaan hidup moral memang telah dicetuskan oleh Gereja Indonesia dengan menyatakan perlunya habitus baru dalam menyikapi perkembangan dunia ini. Habitus baru itu menandaskan kembali perlunya sikap moral manusia terhadap sesamanya dan dunia. Ketika manusia diperhadapkan dengan tuntutan efektivitas waktu, hasil kerja, prosedur dan lain sebagainya, manusia pasti menghadapi aneka pilihan yang perlu dilakukan. Pilihan inilah yang menjadikan manusia itu dewasa. Dalam konteks agama Kristiani, pilihan ini tampak dalam iman. Namun, iman itu sendiri belum mencukupi sebagai dasar perbuatan moral. Dimensi sosial iman itulah yang kiranya perlu dikembangkan lebih lanjut dalam kemauan membantu sesama melalui komunitas. Penulis menyadari bahwa Komunitas Basis Kristiani itu sendiri hanyalah bentuk bagi usaha penghayatan iman. Untuk wujud konkret bagaimana iman itu dihayati dalam kehidupan konkret-aktual, hal tersebut perlu memperhatikan konteks situasi dan kondisi yang dihadapi oleh kaum beriman.
C. Catatan Kritis
Perbuatan manusia jelas memerlukan pendasaran metafisis supaya manusia mengetahui untuk apa ia berbuat kebaikan. Tapi kehadiran ilmu empiris dan positivisme menjadikan pendasaran metafisis demikian perlu dibuktikan melalui pengalaman. Mengapa perlu dibuktikan? Karena apa yang tidak dapat dibuktikan dalam dan melalui pengalaman, pendasaran tersebut kehilangan legitimasinya sebagai sebuah pendasaran. Pukulan telak jelas jatuh pada agama. Agama lantas mencoba mencari cara baru untuk menjelaskan hal ini. Dalam bidang filsafat, salah satu yang diusahakan adalah dengan merujuk kembali pada pemikiran Kant mengenai akal budi praktis dan hidup moral. Tetapi, usaha para tokoh Neo-Kantianisme tidaklah tanpa celah. Sebagaimana dikatakan Karl Jasper, para pemikir tersebut mengabaikan batas-batas yang ditetapkan oleh Kant terhadap akal budi. Mereka mengubah akal budi menjadi roh dan pikiran menjadi pikirannya Allah. Cohen misalnya berkata bahwa revelasi kehendak Allah itulah yang menjadikan manusia rasional. Dengan kata lain, revelasi menciptakan akal budi. Titik lemah Cohen terletak pada pemahamnnya mengenai revelasi itu sendiri. Cohen melihat revelasi itu seolah-olah realitas itu sendiri. Padahal revelasi hanyalah satu penampakan saja, semacam satu keterangan mengenai realitas yang tersembunyi dari akal budi. Pada Natorp, titik lemahnya terletak pada pemahamannyan mengenai perasaan religius. Ia melihat bahwa perasaan religius tidaklah memiliki tujuan apa pun juga. Perasaan ini mengubah dan menggantikan kategori budi manusia dalam menilai dan memutuskan pilihan tindakan manusia. Implikasinya, tiap fenomena yang masuk ke dalam diri manusia lantas tidak dapat diputuskan dalam suatu pengertian dan karena itu juga dalam relasi kausalitas. Padahal perbuatan manusia itu selalu berkarakter konkrit dan subjektif yang terjadi dalam ruang dan waktu.
Pada umumnya, titik lemah yang diperlihatkan para filsuf Neo-Kantianisme tidak terlepas dari kelemahan pemikiran Kant sendiri. Pertama, ketika Kant melepaskan dasar ontologis dari penjelasan kausalitas yang terjadi adalah bahwa realitas itu sendiri tidak dapat dikenal. Manusia hanya mengenal apa yang ditampakkan oleh realitas. Karena itu apa yang menjadi pengetahuan manusia sesungguhnya hanya merupakan keterangan-keterangan mengenai realitas itu sendiri. Kedua, mengenai perbuatan moral. Hukum moral Kant tidak memuat isi dari perbuatan, melainkan syarat manusia untuk berbuat. Syarat inilah yang diharapkan Kant menjadi prinsip universal bagi tindakan manusia. Implikasinya adalah Kant menolak apa yang datang dari luar termasuk perasaan dan nilai. Tapi, sebagaimana dikatakan oleh Max Scheler, manusia menaati kewajibannya bukan demi kewajiban itu sendiri melainkan ia menyadari sesuatu sebagai kewajibannya karena sesuatu itu mempunyai nilai. Jadi sikap moral berkaitan dengan nilai. Dan terakhir, Kant melepaskan akibat perbuatan dari kodrat perbuatan itu sendiri. Dengan kata lain, sebagai sebuah tindakan moral, perbuatan dalam diri dirinya tidak mempunyai kekuatan untuk menghasilkan atau memproduksi sesuatu.
Dari sisi teologis, para teolog seperti Albercht Ritschl, Wilhelm Herrmann, dan Adolf von Harnack menekankan moralitas di atas intelektualisasi yang berlebihan terhadap pribadi Kristus dan agama Kristiani. Moralitas yang dimaksud di sini adalah moralitas yang ditunjukkan oleh pribadi historis Yesus. Implikasinya, mereka membatasi pengetahuan pada wilayah realisme wahyu historis tertentu dan dalam hal ini wahyu itu adalah pribadi Yesus. Memang gambaran Yesus historis dapat ditemukan dalam Injil tapi tidak semuanya digambarkan. Lagi pula, dari penyelidikan kritis-ilmiah terhadap Yesus sebagaimana terdapat dalam Injil, tidak mudah untuk menemukan gambaran Yesus yang sesungguhnya. Banyak hal merupakan tambahan dari para muridNya. Inilah yang menyulitkan penghayatan iman konkret dalam dunia dewasa ini. Ritschl, misalnya, mengatakan kesatuan moralitas dan agama terungkap dalam kehidupan etis Yesus. Hermann bahkan melihat iman sebagai penempatan manusia ke dalam keadaan baru dengan melihat Kitab Suci sebagai semata sarana untuk itu. Ringkasnya, imanlah yang menyelamatkan manusia. Sementara Harnack berpendapat bahwa pribadi Yesus dan pengaruhnya kepada orang lain hingga hari inilah yang harus diperhatikan. Keutamaan hidup moral Kritus menjadi poin penting di mana kemudian Harnack menyimpulkan agama adalah jiwa moralitas dan moralitas menjadi tubuh agama. Dalam agama Kristiani, Injil adalah pesan yang memastikan manusia akan hidup abadi dan yang menyampaikan nilai dari segala sesuatu. Pengetahuan memang penting (pengetahuan mengenai Injil dan hidup Yesus), akan tetapi pengetahuan demikian bukanlah merupakan esensi Injil. Memang tidak selalu mudah untuk menemukan iman dan teologi Perjanjian Baru.
Perbuatan manusia jelas memerlukan pendasaran metafisis supaya manusia mengetahui untuk apa ia berbuat kebaikan. Tapi kehadiran ilmu empiris dan positivisme menjadikan pendasaran metafisis demikian perlu dibuktikan melalui pengalaman. Mengapa perlu dibuktikan? Karena apa yang tidak dapat dibuktikan dalam dan melalui pengalaman, pendasaran tersebut kehilangan legitimasinya sebagai sebuah pendasaran. Pukulan telak jelas jatuh pada agama. Agama lantas mencoba mencari cara baru untuk menjelaskan hal ini. Dalam bidang filsafat, salah satu yang diusahakan adalah dengan merujuk kembali pada pemikiran Kant mengenai akal budi praktis dan hidup moral. Tetapi, usaha para tokoh Neo-Kantianisme tidaklah tanpa celah. Sebagaimana dikatakan Karl Jasper, para pemikir tersebut mengabaikan batas-batas yang ditetapkan oleh Kant terhadap akal budi. Mereka mengubah akal budi menjadi roh dan pikiran menjadi pikirannya Allah. Cohen misalnya berkata bahwa revelasi kehendak Allah itulah yang menjadikan manusia rasional. Dengan kata lain, revelasi menciptakan akal budi. Titik lemah Cohen terletak pada pemahamnnya mengenai revelasi itu sendiri. Cohen melihat revelasi itu seolah-olah realitas itu sendiri. Padahal revelasi hanyalah satu penampakan saja, semacam satu keterangan mengenai realitas yang tersembunyi dari akal budi. Pada Natorp, titik lemahnya terletak pada pemahamannyan mengenai perasaan religius. Ia melihat bahwa perasaan religius tidaklah memiliki tujuan apa pun juga. Perasaan ini mengubah dan menggantikan kategori budi manusia dalam menilai dan memutuskan pilihan tindakan manusia. Implikasinya, tiap fenomena yang masuk ke dalam diri manusia lantas tidak dapat diputuskan dalam suatu pengertian dan karena itu juga dalam relasi kausalitas. Padahal perbuatan manusia itu selalu berkarakter konkrit dan subjektif yang terjadi dalam ruang dan waktu.
Pada umumnya, titik lemah yang diperlihatkan para filsuf Neo-Kantianisme tidak terlepas dari kelemahan pemikiran Kant sendiri. Pertama, ketika Kant melepaskan dasar ontologis dari penjelasan kausalitas yang terjadi adalah bahwa realitas itu sendiri tidak dapat dikenal. Manusia hanya mengenal apa yang ditampakkan oleh realitas. Karena itu apa yang menjadi pengetahuan manusia sesungguhnya hanya merupakan keterangan-keterangan mengenai realitas itu sendiri. Kedua, mengenai perbuatan moral. Hukum moral Kant tidak memuat isi dari perbuatan, melainkan syarat manusia untuk berbuat. Syarat inilah yang diharapkan Kant menjadi prinsip universal bagi tindakan manusia. Implikasinya adalah Kant menolak apa yang datang dari luar termasuk perasaan dan nilai. Tapi, sebagaimana dikatakan oleh Max Scheler, manusia menaati kewajibannya bukan demi kewajiban itu sendiri melainkan ia menyadari sesuatu sebagai kewajibannya karena sesuatu itu mempunyai nilai. Jadi sikap moral berkaitan dengan nilai. Dan terakhir, Kant melepaskan akibat perbuatan dari kodrat perbuatan itu sendiri. Dengan kata lain, sebagai sebuah tindakan moral, perbuatan dalam diri dirinya tidak mempunyai kekuatan untuk menghasilkan atau memproduksi sesuatu.
Dari sisi teologis, para teolog seperti Albercht Ritschl, Wilhelm Herrmann, dan Adolf von Harnack menekankan moralitas di atas intelektualisasi yang berlebihan terhadap pribadi Kristus dan agama Kristiani. Moralitas yang dimaksud di sini adalah moralitas yang ditunjukkan oleh pribadi historis Yesus. Implikasinya, mereka membatasi pengetahuan pada wilayah realisme wahyu historis tertentu dan dalam hal ini wahyu itu adalah pribadi Yesus. Memang gambaran Yesus historis dapat ditemukan dalam Injil tapi tidak semuanya digambarkan. Lagi pula, dari penyelidikan kritis-ilmiah terhadap Yesus sebagaimana terdapat dalam Injil, tidak mudah untuk menemukan gambaran Yesus yang sesungguhnya. Banyak hal merupakan tambahan dari para muridNya. Inilah yang menyulitkan penghayatan iman konkret dalam dunia dewasa ini. Ritschl, misalnya, mengatakan kesatuan moralitas dan agama terungkap dalam kehidupan etis Yesus. Hermann bahkan melihat iman sebagai penempatan manusia ke dalam keadaan baru dengan melihat Kitab Suci sebagai semata sarana untuk itu. Ringkasnya, imanlah yang menyelamatkan manusia. Sementara Harnack berpendapat bahwa pribadi Yesus dan pengaruhnya kepada orang lain hingga hari inilah yang harus diperhatikan. Keutamaan hidup moral Kritus menjadi poin penting di mana kemudian Harnack menyimpulkan agama adalah jiwa moralitas dan moralitas menjadi tubuh agama. Dalam agama Kristiani, Injil adalah pesan yang memastikan manusia akan hidup abadi dan yang menyampaikan nilai dari segala sesuatu. Pengetahuan memang penting (pengetahuan mengenai Injil dan hidup Yesus), akan tetapi pengetahuan demikian bukanlah merupakan esensi Injil. Memang tidak selalu mudah untuk menemukan iman dan teologi Perjanjian Baru.
Acuan Tambahan
Tjahjadi, Lili. Hukum Moral: Ajaran Kant tentang Etika dan Imperatif Kategoris. Yogyakarta: Kanisius, 2001.
Kant’s Philosophy of Religion dalam www.stanford.edu/philosophy.html diakses tanggal 5 Oktober 2008.
Tjahjadi, Lili. Hukum Moral: Ajaran Kant tentang Etika dan Imperatif Kategoris. Yogyakarta: Kanisius, 2001.
Kant’s Philosophy of Religion dalam www.stanford.edu/philosophy.html diakses tanggal 5 Oktober 2008.