Jumat, 14 Mei 2010

" MENGUPAS KEMBALI SEJARAH BANGSA YANG HAMPIR TERLUPAKAN



Bissu dari Bone

Bissu dari Bone

" Bugis History"

Tentang Bissu
Sepertinya hanya di budaya Bugis, dikenal lima (5) jenis gender. Menurut penelitian anthropolog Australia, Sharyn Graham dalam research reportnya; Sex, Gender and Priests in South Sulawesi, Indonesia, IIASNewsletter 29 November 2002 27 , budaya Bugis mengenal empat jenis gender dan satu para-gender; laki-laki (oroane), perempuan (makunrai), perempuan yang berpenampilan seperti layaknya laki-laki (calalai), laki-laki yang berpenampilan seperti layaknya perempuan (calabai) dan para-gender bissu (Lihat juga Manusia Bugis, C Pelras, hal 191). Jenis yang terakhir ini lebih banyak disalah artikan dan dianggap identik dengan jenis calabai, walau secara peran dan kedudukannya dalam budaya Bugis tidak demikian. Juga, tidak sedikit yang mempertautkan keunikan para-gender Bissu ini dengan kepercayaan lokal yang disebut Tolotang, hal yang mana dibantah secara nyata oleh komunitas
Amparita Sidrap yang menjadi representasi penganut Tolotang dalam suku Bugis.

Kehadiran dan Peranannya Gambaran pergeseran struktur nilai dalam kebudayaan Bugis selayaknya bisa kita sematkan pada salah satu realitas budaya bugis yang mulai terpinggirkan; Bissu. Peran Bissu di awal pembentukan masyarakat Bugis sangatlah kuat. Keberadaan Bissu dalam sejarah manusia Bugis dianggap sezaman dengan kelahiran suku Bugis itu sendiri. Ketika Batara Guru sebagai cikal bakal manusia Bugis dalam sure’La Galigo, turun ke bumi dari dunia atas ( botinglangik) dan bertemu dengan permaisurinya We Nyili Timo yang berasal dari dunia bawah (borikliung), bersamaan dengan itu turun pula seorang Bissu pertama bernama Lae-lae sebagai penyempurna kehadiran leluhur orang Bugis tersebut. Menurut tutur lisan Hajji Baco’, seorang Bissu , Batara Guru yang ditugasi oleh Dewata mengatur bumi rupanya tidak punya kemampuan management yang handal, karenanya diperlukan bissu dari botinglangik untuk mengatur segala sesuatu mengenai kehidupan. Ketika Bissu ini turun ke bumi, maka terciptalah pranata-pranata masyarakat Bugis melalui daya kreasi mereka, menciptakan bahasa, budaya, adat istiadat dan semua hal yang diperlukan untuk menjalankan kehidupan di bumi. Melalui perantara bissu inilah, para manusia biasa dapat berkomunikasi dengan para dewata yang bersemayam di langit. Bissu adalah pendeta agama Bugis kuno pra-Islam. Bissu dianggap menampung dua elemen gender manusia, lelaki dan perempuan ( hermaphroditic beings who embody female and male elements), juga mampu mengalami dua alam; alam makhluk dan alam roh (Spirit). Ketua para bissu adalah seorang yang bergelar Puang Matowa atau Puang Towa. Secara biologis, sekarang, bissu kebanyakan diperankan oleh laki-laki yang memiliki sifat-sifat perempuan (wadam) walau ada juga yang asli perempuan, yang biasanya dari kalangan bangsawan tinggi, walau tidak mudah membedakan mana bissu yang laki-laki dan mana bissu yang perempuan. Dalam kesehariannya, bissu berpenampilan layaknya perempuan dengan pakaian dan tata rias feminim, namun juga tetap membawa atribut maskulin, dengan membawa badik misalnya. Dalam pengertian bahasa, bissu berasal dari kata bugis; bessi, yang bermakna bersih. Mereka disebut Bissu karena tidak berdarah, suci (tidak kotor), dan tidak haid. Ada juga yang menyatakan bahwa kata Bissu berasal dari kata Bhiksu atau Pendeta Buddha, sebagaimana diungkapkan oleh C Pelras dalam Manusia Bugis, hal 68, sebagai salah satu bentuk pengaruh bahasa Sansekerta dalam bahasa Bugis. Tentang agama Buddha sendiri, beberapa sanak-saudara saya yang tinggal di Sengkang mengaku masih menganut agama Buddha ini, yang dikatakan sebagai agama mula-mula orang Bugis. Mereka masih melakukan ritual keagamaan tersendiri, walau saya belum melakukan perbandingan dengan ritual agama Buddha yang dilakukan oleh umumnya masyarakat Buddha di Indonesia. Juga ada bukti sejarah yang memperkuat fenomena ini, misalnya penemuan Arca Buddha bercorak Amarawati di Sempaga di pantai Sulawesi Selatan yang berasal dari abad II Masehi. Ditengarai bahwa para pendeta Buddha, Biksu ini ‘menumpang’ kapal-kapal dagang India menuju perairan Nusantara. Dalam struktur budaya bugis, peran Bissu tergolong istimewa karena dalam kehidupan sehari-hari dianggap sebagai satu-satunya operator komunikasi antara manusia dan dewa melalui upacara ritual tradisionalnya dengan menggunakan bahasa dewa/langit ( basa Torilangi), karenanya Bissu juga berperan sebagai penjaga tradisi tutur lisan sastra Bugis Kuno sure’ La Galigo (pesan Lagaligo). Apabila sure’ ini hendak dibacakan, maka sebelum dikeluarkan dari tempat penyimpanannya, orang menabuh gendang dengan irama tertentu dan membakar kemenyan. Setelah tabuhan gendang berhenti, tampillah Bissu mengucapkan pujaan dan meminta ampunan kepada dewa - dewa yang namanya akan disebut dalam pembacaan sure’ itu. Bissu juga berperan mengatur semua pelaksanaan upacara tradisional, seperti upacara kehamilan, kelahiran, perkawinan ( indo’ botting), kematian, pelepasan nazar, persembahan, tolak bala, dan lain-lain. Sakti?

Dari surek La Galigo sendiri sebagai referensi utama sejarah purba suku Bugis, membuktikan bahwa justru kehadiran Bissu dianggap sebagai pengiring lestarinya tradisi keilahian/religiusitas nenek moyang. Di masa lalu berdasarkan sastra klasik Bugis epos La Galigo, sejak zaman Sawerigading, peran Bissu sangat sentral, bahkan dikatakan sebagai mahluk suci yang memberi stimulus ‘perahu cinta’ bagi Sawerigading dalam upayanya mencari pasangan jiwanya; We Cudai. Di tengah kegundahan Sawerigading yang walau sakti mandraguna tapi tak mampu menebang satu pohon pun untuk membuat kapal raksasa Wellerrengge, Bissu We Sawwammegga tampil dengan kekuatan sucinya yang diperoleh karena ambivalensinya; lelaki sekaligus perempuan, manusia sekaligus Dewa (Sharyn Graham, 2002). Kisah kesaktian Bissu ini dapat juga kita temukan dalam kisah Arung Palakka ketika pada tahun 1667 melakukan penyerbuan bersama tentara Soppeng terhadap Lamatti, sebuah distrik di Bone Selatan, sebanyak seratus Bissu Lamatti tampil dengan senjata walida (pemukul tenun) sambil mendendangkan memmang (nyanyian). Anehnya, tak satupun senjata prajurit Bone dan Soppeng yang mampu melukai para bissu sakti tersebut (LY Andaya, 2006, hal 106). Dalam ritual yang masih bisa ditemui sampai sekarang, tradisi maggiri’ merupakan salah satu pameran kesaktian Bissu. Tradisi menusuk diri dengan badik ini dimaksudkan untuk menguji apakah roh leluhur/dewata yang sakti sudah merasuk ke dalam diri bissu dalam sebuah upacara, sehingga apabila sang Bissu kebal dari tusukan badik itu, ia dan roh yang merasukinya dipercaya dapat memberikan berkat kepada yang meminta nya. Namun, apabila badik tersebut menembus dan melukai sang Bissu, maka yang merasukinya adalah roh lemah atau bahkan tidak ada roh leluhur sama sekali yang menghinggapi (Sharyn Graham).

Menjadi Bissu

Menjadi Bissu dipercaya merupakan anugerah dari dewata. Tidak semua orang, bahkan jenis calabai, bisa menjadi bissu atas kehendak sendiri. Walaupun sebahagian besar Bissu pada mulanya memiliki kecenderungan sebagai calabai. Metamorfosis menjadi seorang Bissu biasanya dimulai sejak kanak-kanak, ketika seorang anak mengidap ambiguitas orientasi seksual dan di saat yang sama menampakkan ‘keterkaitan’ dengan dunia gaib. Anak-anak dengan keunikan ganda ini kemudian akan dipersiapkan menjadi bissu. Untuk menjadi bissu diperlukan banyak persyaratan untuk membuktikan bahwa dia menerima ‘berkat ‘itu diantaranya berbaring dalam sebuah rakit bambu di tengah danau selama tiga hari tiga malam tanpa makan, minum dan bergerak. Jika berhasil, maka dia kemudian akan ditahbiskan menjadi Bissu sejati (Sharyn Graham).

Konflik dengan Islam?
Namun di saat yang bersamaan, karena proses konstruksi politik dan agama, Bissu dianggap sebagai satu celah yang tercela dalam masyarakat Bugis modern yang Islami karena dianggap menentang sunnatullah yang hanya mengenal jenis gender laki-laki dan perempuan, selain peran sinkretisme yang dibawanya. Bahkan salah satu doktrin yang memojokkan status mereka adalah adanya pemeo bahwa bila menyentuh Bissu atau calabai maka konon akan membawa sial selama 40 hari – 40 malam. Ironis! Menjadi bissu tidak lagi dianggap dapat menaikkan derajat sosial sebagaimana yang berlaku di masa lampau, malah mendatangkan petaka keterasingan dalam masyarakat (agamis) Bugis modern. Dalam beberapa diskursus, eksistensi Bissu cenderung fenomenal mengingat keberadaannya yang kontroversial dalam masyarakat Bugis modern yang Islami. Karena keberadaannya yang ambivalen, bissu dianggap tidak menerima sunnatullah, karena secara fisik mereka adalah laki-laki tapi berpenampilan seperti perempuan ( tranvestities). Bissu juga dianggap menyimpang dari agama karena kecenderungannya menganggap arajang dan mustika arajang memiliki kekuatan gaib dari leluhur (dinamisme). Padahal, menurut para bissu itu, mereka justru melakukan pemujaan terhadap Tuhan walau dengan tata cara ritual yang mereka yakini. Dan juga, mereka tidak menolak sunnatullah, melainkan menerima dan menjalankan sunnatullah.

Di tahun 1950-an saat pecah pemberontakan DI/TII Kahar Muzakar, Bissu merupakan salah satu pihak yang paling menderita. Kahar Muzakkar menganggap kegiatan para Bissu ini adalah menyembah berhala, tidak sesuai dengan ajaranIslam dan membangkitkan feodalisme. Karena itu kegiatan, alat-alat upacara, serta para pelakunya diberantas. Ratusan perlengkapan upacara dibakar atau di tenggelamkan ke laut. Banyak sanro (dukun) dan Bissu di bunuh atau dipaksa menjadi pria yang harus bekerja keras. Penderitaan para Sanro dan Bissu masih berlanjut ketika Orde Lama (Orla) ditumbangkan oleh rejim Orde Baru (Orba) pada tahun 1965. Keributan yang menyoroti arajang dan pelaksanaan upacara mappalili terjadi di Segeri. Arajang hampir diganyang oleh salah satu ormas pemuda yang berkuasa ketika itu. Para Bissu dan mereka yang percaya akan kesaktian arajang menjadi tertuduh penganut komunis atau anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Mereka dianggap tidak beragama, melakukan perbuatan siriq, dianggap menganut ajaran anisme. Barang siapa masih menganggap arajang sebagai benda kramat berarti menduakan Tuhan. Di antara mereka yang tertangkap harus memilih antara mati di bunuh atau memilih masuk agama Islam serta menjadi manusia normal (pria). Muncul doktrin dalam masyarakat, bahwa bila melihat Bissu atau Wandu maka konon mereka yang melihatnya akan sial tidak mendapatkan rejeki selama 40 hari – 40 malam. Demikian pula seluruh amal baik yang diperbuatnya selama 40 hari tersebut tidak diterima pahalanya oleh Tuhan YME. Karena itu, jika melihat Bissu atau Wandu maka dia harus diusir jauh-jauh. Banyak di antara sanro dan Bissu yang sebelumnya sangat dihormati oleh masyarakat, kini menjadi sasaran lemparan dan olok-olokanbocah di jalanan.

Gerakan pemurnian ajaran Islam tersebut mereka sebut “Operasi Toba” (Operasi Taubat) yang gencar-gencarnya terjadi pada tahun 1966. Sejak itu, upacara Mappalili mengalami kemunduran, upacara-upacara Bissu tidak lagi diselenggarakan secara besar-besaran. Para Bissu bersembunyi dari ancaman maut yang memburunya. Masyarakat tidak lagi peduli akan nasib mereka, karena sebagian dari mereka memang mendukung gerakan “Operasi Toba” tersebut. Sebagian masyarakat yang bersimpati kepada para Bissu, hanya tinggal diam tanpa bisa berbuat apa-apa. Namun ketika masyarakat menuai padinya, ternyata hasilnya memang kurang memuaskan sehingga beberapa masyarakat beranggapan hal tersebut terjadi karena tidak melakukan upacara Mappalili . Dengan kesadaran itulah beberapa di antara mereka menyembunyikan Bissu yang tersisa agar tidak di bunuh dan agar upacara mappalili dapat dilaksanakan lagi. Bissu-bissu yang selamat itulah yang masih ada sekarang ini. Kini jumlah mereka yang tersisa di seluruh wilayah adat Sulawesi Selatan tidak lebih dari empatpuluh orang saja. Padahal untuk melakukan sebuah upacara Mappalili yang besar, jumlah Bissu minimal harus berjumlah empatpuluh orang (Bissu PattappuloE) dalam sebuah wilayah adat. Sekarang Puang Matoa sudah memakai kopiah dan kerudung. Di antaranya sudah ada yang telah menunaikan ibadah haji ke Mekkah, bahkan dalam lagu bissu-nya yang didapati di dalam naskah tua, sudah ada yang mencantumkan nama Allah, malaikat, dan nabi. Pada umumnya bissu asli di Sulawesi Selatan yang jumlahnya saat ini diduga tinggal empat puluh-an itu secara statistik kependudukan menganut agama Islam


arranged by: Adhy Laskar La Galigo

Bissu dari Bone

Bissu dari Bone

Tentang Bissu
Sepertinya hanya di budaya Bugis, dikenal lima (5) jenis gender. Menurut penelitian anthropolog Australia, Sharyn Graham dalam research reportnya; Sex, Gender and Priests in South Sulawesi, Indonesia, IIASNewsletter|#29| November 2002 27 , budaya Bugis mengenal empat jenis gender dan satu para-gender; laki-laki (oroane), perempuan (makunrai), perempuan yang berpenampilan seperti layaknya laki-laki ( calalai), laki-laki yang berpenampilan seperti layaknya perempuan (calabai) dan para-gender bissu (Lihat juga Manusia Bugis, C Pelras, hal 191). Jenis yang terakhir ini lebih banyak disalah artikan dan dianggap identik dengan jenis calabai, walau secara peran dan kedudukannya dalam budaya Bugis tidak demikian. Juga, tidak sedikit yang mempertautkan keunikan para-gender Bissu ini dengan kepercayaan lokal yang disebut Tolotang, hal yang mana dibantah secara nyata oleh komunitas Amparita Sidrap yang menjadi representasi penganut Tolotang dalam suku Bugis.


Kehadiran dan Peranannya

Gambaran pergeseran struktur nilai dalam kebudayaan Bugis selayaknya bisa kita sematkan pada salah satu realitas budaya bugis yang mulai terpinggirkan; Bissu Peran Bissu di awal pembentukan masyarakat Bugis sangatlah kuat. Keberadaan Bissu dalam sejarah manusia Bugis dianggap sezaman dengan kelahiran suku Bugis itu sendiri. Ketika Batara Guru sebagai cikal bakal manusia Bugis dalam sure’La Galigo, turun ke bumi dari dunia atas ( botinglangik) dan bertemu dengan permaisurinya We Nyili Timo yang berasal dari dunia bawah (borikliung), bersamaan dengan itu turun pula seorang Bissu pertama bernama Lae-lae sebagai penyempurna kehadiran leluhur orang Bugis tersebut. Menurut tutur lisan Hajji Baco’, seorang Bissu , Batara Guru yang ditugasi oleh Dewata mengatur bumi rupanya tidak punya kemampuan management yang handal, karenanya diperlukan bissu dari botinglangik untuk mengatur segala sesuatu mengenai kehidupan. Ketika Bissu ini turun ke bumi, maka terciptalah pranata-pranata masyarakat Bugis melalui daya kreasi mereka, menciptakan bahasa, budaya, adat istiadat dan semua hal yang diperlukan untuk menjalankan kehidupan di bumi.

Melalui perantara bissu inilah, para manusia biasa dapat berkomunikasi dengan para
dewata yang bersemayam di langit. Bissu adalah pendeta agama Bugis kuno pra-Islam. Bissu dianggap menampung dua elemen gender manusia, lelaki dan perempuan ( hermaphroditic beings who embody female and male elements), juga mampu mengalami dua alam; alam makhluk dan alam roh (Spirit). Ketua para bissu adalah seorang yang bergelar Puang Matowa atau Puang Towa. Secara biologis, sekarang, bissu kebanyakan diperankan oleh laki-laki yang memiliki sifat-sifat perempuan (wadam) walau ada juga yang asli perempuan, yang biasanya dari kalangan bangsawan tinggi, walau tidak mudah membedakan mana bissu yang laki-laki dan mana bissu yang perempuan. Dalam kesehariannya, bissu berpenampilan layaknya perempuan dengan pakaian dan tata rias feminim, namun juga tetap membawa atribut maskulin, dengan membawa badik misalnya. Dalam pengertian bahasa, bissu berasal dari kata bugis; bessi, yang bermakna bersih. Mereka disebut Bissu karena tidak berdarah, suci (tidak kotor), dan tidak haid. Ada juga yang menyatakan bahwa kata Bissu berasal dari kata Bhiksu atau Pendeta Buddha, sebagaimana diungkapkan oleh C Pelras dalam Manusia Bugis, hal 68, sebagai salah satu bentuk pengaruh bahasa Sansekerta dalam bahasa Bugis. Tentang agama Buddha sendiri, beberapa sanak-saudara saya yang tinggal di Sengkang mengaku masih menganut agama Buddha ini, yang dikatakan sebagai agama mula-mula orang Bugis. Mereka masih melakukan ritual keagamaan tersendiri, walau saya belum melakukan perbandingan dengan ritual agama Buddha yang dilakukan oleh umumnya masyarakat Buddha di Indonesia. Juga ada bukti sejarah yang memperkuat fenomena ini, misalnya penemuan Arca Buddha bercorak Amarawati di Sempaga di pantai Sulawesi Selatan yang berasal dari abad II Masehi. Ditengarai bahwa para pendeta Buddha, Biksu ini ‘menumpang’ kapal-kapal dagang India menuju perairan Nusantara. Dalam struktur budaya bugis, peran Bissu tergolong istimewa karena dalam kehidupan sehari-hari dianggap sebagai satu-satunya operator komunikasi antara manusia dan dewa melalui upacara ritual tradisionalnya dengan menggunakan bahasa dewa/langit ( basa Torilangi), karenanya Bissu juga berperan sebagai penjaga tradisi tutur lisan sastra Bugis Kuno sure’ La Galigo. Apabila sure’ ini hendak dibacakan, maka sebelum dikeluarkan dari tempat penyimpanannya, orang menabuh gendang dengan irama tertentu dan membakar kemenyan. Setelah tabuhan gendang berhenti, tampillah Bissu mengucapkan pujaan dan meminta ampunan kepada dewa- dewa yang namanya akan disebut dalam pembacaan sure’ itu. Bissu juga berperan mengatur semua pelaksanaan upacara tradisional, seperti upacara kehamilan, kelahiran, perkawinan ( indo’ botting), kematian, pelepasan nazar, persembahan, tolak bala, dan lain-lain. Sakti?

Dari surek La Galigo sendiri sebagai referensi utama sejarah purba suku Bugis, membuktikan bahwa justru kehadiran Bissu dianggap sebagai pengiring lestarinya tradisi keilahian/religiusitas nenek moyang. Di masa lalu berdasarkan sastra klasik Bugis epos La Galigo, sejak zaman Sawerigading, peran Bissu sangat sentral, bahkan dikatakan sebagai mahluk suci yang memberi stimulus ‘perahu cinta’ bagi Sawerigading dalam upayanya mencari pasangan jiwanya; We Cudai. Di tengah kegundahan Sawerigading yang walau sakti mandraguna tapi tak mampu menebang satu pohon pun untuk membuat kapal raksasa Wellerrengge, Bissu We Sawwammegga tampil dengan kekuatan sucinya yang diperoleh karena ambivalensinya; lelaki sekaligus perempuan, manusia sekaligus Dewa (Sharyn Graham, 2002).

Kisah kesaktian Bissu ini dapat juga kita temukan dalam kisah Arung Palakka ketika pada tahun 1667 melakukan penyerbuan bersama tentara Soppeng terhadap Lamatti, sebuah distrik di Bone Selatan, sebanyak seratus Bissu Lamatti tampil
dengan senjata walida (pemukul tenun) sambil mendendangkan memmang
(nyanyian). Anehnya, tak satupun senjata prajurit Bone dan Soppeng yang mampu
melukai para bissu sakti tersebut (LY Andaya, 2006, hal 106).
Dalam ritual yang masih bisa ditemui sampai sekarang, tradisi maggiri’ merupakan
salah satu pameran kesaktian Bissu. Tradisi menusuk diri dengan badik ini
dimaksudkan untuk menguji apakah roh leluhur/dewata yang sakti sudah merasuk
ke dalam diri bissu dalam sebuah upacara, sehingga apabila sang Bissu kebal dari
tusukan badik itu, ia dan roh yang merasukinya dipercaya dapat memberikan berkat
kepada yang meminta nya. Namun, apabila badik tersebut menembus dan melukai
sang Bissu, maka yang merasukinya adalah roh lemah atau bahkan tidak ada roh
leluhur sama sekali yang menghinggapi (Sharyn Graham).


Menjadi Bissu
Menjadi Bissu dipercaya merupakan anugerah dari dewata. Tidak semua orang,
bahkan jenis calabai, bisa menjadi bissu atas kehendak sendiri. Walaupun
sebahagian besar Bissu pada mulanya memiliki kecenderungan sebagai calabai.
Metamorfosis menjadi seorang Bissu biasanya dimulai sejak kanak-kanak, ketika
seorang anak mengidap ambiguitas orientasi seksual dan di saat yang sama
menampakkan ‘keterkaitan’ dengan dunia gaib. Anak-anak dengan keunikan ganda
ini kemudian akan dipersiapkan menjadi bissu. Untuk menjadi bissu diperlukan
banyak persyaratan untuk membuktikan bahwa dia menerima ‘berkat ‘itu
diantaranya berbaring dalam sebuah rakit bambu di tengah danau selama tiga hari
tiga malam tanpa makan, minum dan bergerak. Jika berhasil, maka dia kemudian
akan ditahbiskan menjadi Bissu sejati (Sharyn Graham).
Konflik dengan Islam?


Namun di saat yang bersamaan, karena proses konstruksi politik dan agama, Bissu
dianggap sebagai satu celah yang tercela dalam masyarakat Bugis modern yang
Islami karena dianggap menentang sunnatullah yang hanya mengenal jenis gender
laki-laki dan perempuan, selain peran sinkretisme yang dibawanya. Bahkan salah
satu doktrin yang memojokkan status mereka adalah adanya pemeo bahwa bila
menyentuh Bissu atau calabai maka konon akan membawa sial selama 40 hari – 40
malam. Ironis! Menjadi bissu tidak lagi dianggap dapat menaikkan derajat sosial
sebagaimana yang berlaku di masa lampau, malah mendatangkan petaka
keterasingan dalam masyarakat (agamis) Bugis modern.


Dalam beberapa diskursus, eksistensi Bissu cenderung fenomenal mengingat
keberadaannya yang kontroversial dalam masyarakat Bugis modern yang Islami.
Karena keberadaannya yang ambivalen, bissu dianggap tidak menerima sunnatullah,
karena secara fisik mereka adalah laki-laki tapi berpenampilan seperti perempuan (
tranvestities). Bissu juga dianggap menyimpang dari agama karena
kecenderungannya menganggap arajang dan mustika arajang memiliki kekuatan
gaib dari leluhur (dinamisme). Padahal, menurut para bissu itu, mereka justru
melakukan pemujaan terhadap Tuhan walau dengan tata cara ritual yang mereka
yakini. Dan juga, mereka tidak menolak sunnatullah, melainkan menerima dan
menjalankan sunnatullah.


Di tahun 1950-an saat pecah pemberontakan DI/TII Kahar Muzakar, Bissu

merupakan salah satu pihak yang paling menderita. Kahar Muzakkar menganggap

kegiatan para Bissu ini adalah menyembah berhala, tidak sesuai dengan ajaran
Islam dan membangkitkan feodalisme. Karena itu kegiatan, alat-alat upacara, serta
para pelakunya diberantas. Ratusan perlengkapan upacara dibakar atau di
tenggelamkan ke laut. Banyak sanro (dukun) dan Bissu di bunuh atau dipaksa
menjadi pria yang harus bekerja keras.
Penderitaan para Sanro dan Bissu masih berlanjut ketika Orde Lama (Orla)
ditumbangkan oleh rejim Orde Baru (Orba) pada tahun 1965. Keributan yang
menyoroti arajang dan pelaksanaan upacara mappalili terjadi di Segeri. Arajang
hampir diganyang oleh salah satu ormas pemuda yang berkuasa ketika itu. Para
Bissu dan mereka yang percaya akan kesaktian arajang menjadi tertuduh penganut
komunis atau anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Mereka dianggap tidak
beragama, melakukan perbuatan siriq, dianggap menganut ajaran anisme. Barang
siapa masih menganggap arajang sebagai benda kramat berarti menduakan Tuhan.
Di antara mereka yang tertangkap harus memilih antara mati di bunuh atau memilih
masuk agama Islam serta menjadi manusia normal (pria). Muncul doktrin dalam
masyarakat, bahwa bila melihat Bissu atau Wandu maka konon mereka yang
melihatnya akan sial tidak mendapatkan rejeki selama 40 hari – 40 malam.
Demikian pula seluruh amal baik yang diperbuatnya selama 40 hari tersebut tidak
diterima pahalanya oleh Tuhan YME. Karena itu, jika melihat Bissu atau Wandu maka
dia harus diusir jauh-jauh. Banyak di antara sanro dan Bissu yang sebelumnya
sangat dihormati oleh masyarakat, kini menjadi sasaran lemparan dan olok-olokan
bocah di jalanan.
Gerakan pemurnian ajaran Islam tersebut mereka sebut “Operasi Toba” (Operasi
Taubat) yang gencar-gencarnya terjadi pada tahun 1966. Sejak itu, upacara
Mappalili mengalami kemunduran, upacara-upacara Bissu tidak lagi diselenggarakan
secara besar-besaran. Para Bissu bersembunyi dari ancaman maut yang
memburunya. Masyarakat tidak lagi peduli akan nasib mereka, karena sebagian dari
mereka memang mendukung gerakan “Operasi Toba” tersebut. Sebagian
masyarakat yang bersimpati kepada para Bissu, hanya tinggal diam tanpa bisa
berbuat apa-apa. Namun ketika masyarakat menuai padinya, ternyata hasilnya
memang kurang memuaskan sehingga beberapa masyarakat beranggapan hal
tersebut terjadi karena tidak melakukan upacara Mappalili . Dengan kesadaran itulah
beberapa di antara mereka menyembunyikan Bissu yang tersisa agar tidak di bunuh
dan agar upacara mappalili dapat dilaksanakan lagi. Bissu-bissu yang selamat itulah
yang masih ada sekarang ini. Kini jumlah mereka yang tersisa di seluruh wilayah
adat Sulawesi Selatan tidak lebih dari empatpuluh orang saja. Padahal untuk
melakukan sebuah upacara Mappalili yang besar, jumlah Bissu minimal harus
berjumlah empatpuluh orang (Bissu PattappuloE) dalam sebuah wilayah adat.
Sekarang Puang Matoa sudah memakai kopiah dan kerudung. Di antaranya sudah
ada yang telah menunaikan ibadah haji ke Mekkah, bahkan dalam lagu bissu-nya
yang didapati di dalam naskah tua, sudah ada yang mencantumkan nama Allah,
malaikat, dan nabi. Pada umumnya bissu asli di Sulawesi Selatan yang jumlahnya
saat ini diduga tinggal empat puluh-an itu secara statistik kependudukan menganut
agama Islam

Senin, 03 Mei 2010

Pergerakan Islam dalam nuansa holistic


"Islam adalah agama yang merasuk kedalam jiwa setiap manusia (fitrah). Islam yang dikenal dengan Rahmatan lil alamin merupakan petunjuk bagi yang memahami esensi dari petunjuk itu"

Dua penggambaran model pergerakan Islam di Indonesia yang dianalisis Miichi (fenomena Islamic Left dan Partai Keadilan Sejahtera) menarik untuk didiskusikan. Meskipun sayang sekali keseluruhan isi bukunya masih berbahasa Jepang sehingga penulis cukup kesulitan memahami keseluruhannya. Pada akhir analisisnya Miichi mengemukakan bahwa Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sulit dipertimbangkan sebagai partai radikal sebab melihat metode-metode yang dilakukannya menggunakan metode-metode moderat. Dalam konteks keterbatasan analisis, Miichi masih menyisahkan lobang-lobang untuk bisa memahami secara menyeluruh tentang Pergerakan Islam Kontemporer di Indonesia. Termasuk diakui Miichi saat diskusi dengan penulis atas luputnya perhatian Miichi terhadap fenomena HMI MPO yang sejumlah alumninya juga aktif di PKS. Miichi kemudian menegaskan dalam bincang-bincang usai penulis menjadi panelis bedah bukunya yang diselenggrakan PIP PKS Jepang beberapa waktu lalu bahwa dirinya tertarik untuk meneliti HMI MPO.
Pada akhirnya Miichi kemudian meyakini bahwa tidaklah tepat jika melihat Pergerakan Islam Kontemporer di Indoneisa hanya dilihat secara dikotomis antara Islam Radikal dengan Islam Moderat. Sebab memang Pergerakan Islam di Indonesia spektrumnya amat beragam dan ini potensi besar bagi bangkitnya model pergerakan Islam yang makin matang dan menarik di Indonesia.

Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa pergerakan Islam di era modern ini sungguh belum sepenuhnya terorganisir secara holistic. Hadirnya paradigma yang masih masuk ke dalam kategori "Fallacy Of dramatic instance" menurut kang Jalaluddin Rakmat masih membelenggu dalam pandangan sebagian individu yang terangkul dalam berbagai lembaga dan mazhab. pandangan seperti ini sungguh belum mampu mengantar pergerakan Islam ke dalam tataran wahana Ilmia dan Holistic.

memang tidak bisa dipungkiri bahwa perbedaan adalah hal yang essensial, namun objektivitas dari pandangan kita haruslah sedikit menjadi perhatian yang penting dalam mewujudkan Islam yang Holistic. karena "Islam sebagai Rahmatan lil 'alamin" adalah landasan penting yang menjadi dasar asumsi tersebut. sekiranya jika islam belum bisa diholistickan maka panutan plural merupakan dasar awal kita dalam meramu persepsi tentang gerakan islam. dari situlah kita akan mendapati nuansa islam seperti apa selanjutnya. baik dari segi politic, sosial, budaya, economi, dan ilmu pengetahuan.

demikian sedikit pengantar tentang holistic islam, hasil pengkajian kami akan menjadi inti dari materi ini.
((adhi-12 january))

kediri, 03 mei 2010









jelajah samudra makna


tidak hanya lautan yang bisa dijelajahi oleh seorang manusia, tapi seorang pecinta pasti akan melalui perjalanan qalbu yang dikenal dengan makrifatullah.
Seorang mujahid pasti akan melalui perjalanan jiwa menuju sang pemilik cinta Allah Azza wajallah. namun, perjalanan itu tidaklah bagaikan berjalan di jalan raya yang dengan semuda kita memilih kendaraan tercepat menuju tempat tujuan. tapi perjalan jiwa ini diawali dengan penyucian jiwa dan menyatukanNya dengan pemilikNYA.

SEANTERO ILMU

SEANTERO ILMU